KOBE, Jepang — Dalam koreografi kehamilan yang rumit, ada ancaman tersembunyi yang sulit dideteksi oleh dokter: diabetes gestasional. Sebuah studi baru dari Jepang telah mengungkap kesenjangan yang mengejutkan dalam perawatan prenatal, yang menunjukkan bahwa metode skrining yang umum digunakan untuk kondisi ini sering kali tidak berhasil. Seperti lonjakan gula yang tidak kentara, diabetes gestasional lolos dari pertahanan kita, yang berpotensi membahayakan ibu dan bayi.
Para peneliti di Rumah Sakit Universitas Kobe menemukan bahwa tes glukosa darah kasualsebuah metode skrining cepat dan nyaman yang digunakan di banyak klinik di seluruh dunia, gagal mengidentifikasi lebih dari 70% wanita yang benar-benar menderita diabetes gestasional (GDM). Pengungkapan ini menimbulkan kontroversi di kalangan komunitas obstetri dan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas praktik perawatan prenatal saat ini.
Diabetes gestasional bagaikan tamu tak diundang di pesta kehamilan. Ia muncul tanpa diundang, menimbulkan kekacauan jika tidak ditangani, dan dapat berdampak jangka panjang pada ibu dan anak. Ketika seorang wanita mengalami bentuk diabetes ini, tubuhnya kesulitan mengatur kadar gula darah selama kehamilan, yang dapat menyebabkan sejumlah komplikasi, termasuk bayi berukuran besar, persalinan yang sulit, dan peningkatan risiko diabetes tipe 2 bagi ibu dan anak di kemudian hari.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Jurnal Investigasi Diabetesmembandingkan dua pendekatan skrining yang berbeda untuk GDM pada 763 wanita hamil antara usia kehamilan 24 dan 28 minggu. Metode pertama adalah tes glukosa darah kasual, yang mengukur kadar gula darah kapan saja sepanjang hari, terlepas dari kapan wanita tersebut terakhir makan. Yang kedua adalah tes tantangan glukosa (GCT), yang melibatkan pemberian minuman manis kepada wanita dan mengukur kadar glukosa darah mereka satu jam kemudian.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Dari 99 wanita yang akhirnya didiagnosis menderita GDM atau diabetes yang nyata, 71 (71,7%) memiliki kadar glukosa darah biasa di bawah ambang batas yang biasanya memicu pengujian lebih lanjut. Sederhananya, jika dokter hanya mengandalkan tes glukosa darah biasa, mereka akan melewatkan hampir tiga perempat kasus GDM dalam kelompok ini.
“Meskipun ada penelitian yang menunjukkan bahwa tes glukosa darah kasual kurang sensitif dibandingkan dengan tes lainnya, tidak ada penelitian yang secara langsung membandingkan hasilnya pada individu yang sama. Penelitian kami mengonfirmasi bahwa metode skrining ini, yang banyak digunakan dalam praktik, sering kali tidak mendeteksi kondisi yang seharusnya dideteksi,” kata Masako Tomimoto, penulis utama penelitian tersebut, dalam rilis universitas.
Meskipun penelitian ini dilakukan di Jepang, tim tersebut yakin hasilnya dapat memiliki implikasi global. Para peneliti melakukan survei terhadap fasilitas perawatan kesehatan di Prefektur Hyogo dan menemukan bahwa 43% responden yang menggunakan tes glukosa darah hanya mengandalkan pemeriksaan sementara. Survei serupa di Inggris menunjukkan bahwa 48% klinik juga hanya mengandalkan tes glukosa darah sementara untuk pemeriksaan awal.
“Kami ingin mengedukasi para profesional kesehatan dan pasien tentang bahaya ini dan mendorong mereka untuk mempromosikan penggunaan metode skrining toleransi glukosa yang lebih akurat. Kami berharap data kami dapat berkontribusi pada perbaikan sistem manajemen dan revisi pedoman untuk skrining diabetes gestasional,” simpul Kenji Tanimura, peneliti senior studi tersebut.
“Tujuannya adalah untuk melindungi lebih banyak ibu dan bayi dari masalah kehamilan dan persalinan yang disebabkan oleh bentuk diabetes ini, dan secara umum mengurangi risiko terkena penyakit ini di masa mendatang.”
Ringkasan Makalah
Metodologi
Penelitian ini melibatkan 763 wanita hamil yang menjalani tes glukosa darah biasa dan tes glukosa 50 gram antara minggu ke-24 dan ke-28 kehamilan. Wanita yang hasil tesnya positif pada salah satu pemeriksaan kemudian menjalani tes toleransi glukosa oral yang lebih komprehensif untuk memastikan diagnosis GDM. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk secara langsung membandingkan efektivitas kedua metode pemeriksaan pada individu yang sama.
Hasil Utama
Studi tersebut menemukan bahwa 71,7% wanita yang didiagnosis dengan GDM atau diabetes yang nyata memiliki kadar glukosa darah kasual di bawah ambang batas yang biasanya memicu pengujian lebih lanjut. Uji tantangan glukosa lebih efektif dalam mengidentifikasi wanita yang memerlukan skrining tambahan, yang menyoroti keterbatasan hanya mengandalkan pengujian glukosa darah kasual untuk skrining GDM.
Keterbatasan Studi
Studi ini dilakukan di satu pusat perinatal di Jepang, yang mungkin membatasi generalisasinya ke populasi atau lingkungan perawatan kesehatan lain. Tidak semua wanita dengan hasil positif pada pemeriksaan awal menjalani tes toleransi glukosa oral konfirmasi, sehingga berpotensi melewatkan beberapa kasus GDM. Studi ini juga tidak dapat secara langsung membandingkan efektivitas biaya dari kedua metode pemeriksaan.
Diskusi & Kesimpulan
Temuan ini menggarisbawahi perlunya metode skrining yang lebih sensitif untuk GDM. Para peneliti merekomendasikan penerapan pendekatan skrining yang lebih komprehensif, seperti uji tantangan glukosa atau uji toleransi glukosa oral, untuk meningkatkan tingkat deteksi GDM. Mereka juga menekankan pentingnya mendidik penyedia layanan kesehatan dan pasien tentang keterbatasan pengujian glukosa darah kasual untuk skrining GDM.
Pendanaan & Pengungkapan
Studi ini tidak menyebutkan sumber pendanaan tertentu. Salah satu penulis, Wataru Ogawa, adalah anggota Dewan Editorial Journal of Diabetes Investigation tetapi tidak diikutsertakan dalam keputusan editorial terkait publikasi makalah untuk meminimalkan bias.