

(Kredit: Alexa Mat/Shutterstock)
PELABUHAN MUSIM DINGIN, NY — Mungkinkah infeksi virus selama kehamilan menjadi penyebab autisme yang tersembunyi? Dalam perkembangan menarik yang dapat membentuk kembali pemahaman kita tentang kondisi ini, para peneliti di Cold Spring Harbor Laboratory (CSHL) telah menemukan bukti menarik yang menghubungkan respons imun wanita selama kehamilan dengan potensi masalah perkembangan pada bayi yang belum lahir.
Studi terobosan ini, yang dipresentasikan pada konferensi Society for Neuroscience baru-baru ini di Chicago, menawarkan gambaran sekilas tentang hubungan kompleks antara genetika, faktor lingkungan, dan perkembangan janin pada gangguan spektrum autisme.
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah bergulat dengan teka-teki asal usul autisme. Meskipun faktor genetik diketahui memainkan peran penting, yang mencakup sekitar 40% hingga 80% kasus, penyebab lainnya masih belum jelas. Masukkan Irene Sanchez Martin, peneliti pascadoktoral di CSHL, yang karyanya mendorong batas-batas pengetahuan kita di bidang penting ini.
“Model yang kami gunakan sangat cocok untuk gangguan spektrum autisme,” jelas Sanchez Martin dalam rilis media. “Perbedaannya dalam pekerjaan saya adalah saya memeriksa apa yang terjadi pada janin 24 jam setelah terpapar peradangan ibu, dibandingkan menganalisis perilaku keturunannya saat dewasa.”
Pendekatan baru ini mewakili perubahan signifikan dalam penelitian autisme. Daripada menunggu untuk mengamati perilaku tikus dewasa, Sanchez Martin dan rekan-rekannya malah mengamati tahap awal perkembangan, hanya beberapa jam setelah simulasi infeksi virus pada tikus hamil. Pandangan real-time mengenai perkembangan janin sebagai respons terhadap aktivasi kekebalan ibu belum pernah terjadi sebelumnya dalam penelitian autisme.
Apa Itu Aktivasi Kekebalan Tubuh Ibu?
Ketika seorang wanita hamil tertular virus, sistem kekebalan tubuhnya bekerja keras untuk melawan infeksi tersebut. Respon imun ini, meskipun diperlukan untuk kesehatan ibu, berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan pada perkembangan janin. Studi CSHL menunjukkan bahwa respons imun ibu mungkin menjadi pemain kunci dalam kisah kompleks asal usul autisme.
Salah satu temuan paling mencolok dari penelitian Sanchez Martin adalah kesenjangan gender dalam kerentanan terhadap perubahan-perubahan awal perkembangan ini. Studi tersebut menemukan bahwa meskipun embrio perempuan tampaknya terlindungi dari efek peradangan ibu, sepertiga embrio laki-laki menunjukkan dampak yang signifikan. Pengamatan ini sejalan dengan fakta yang ada bahwa autisme lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sehingga berpotensi menawarkan jalan baru untuk mengeksplorasi alasan di balik ketidakseimbangan gender ini.


Namun, seperti halnya semua penelitian inovatif, penelitian ini menimbulkan banyak pertanyaan dan jawaban. Apakah hubungan antara aktivasi kekebalan tubuh ibu dan autisme bersifat penyebab atau hanya bersifat korelatif? Bagaimana sebenarnya respon imun ibu mempengaruhi perkembangan otak janin? Mungkin yang paling menarik, apa yang melindungi embrio perempuan dari efek ini?
Meskipun kita belum mendapatkan semua jawabannya, penelitian ini membuka kemungkinan baru yang menarik untuk deteksi dini dan intervensi. Bayangkan masa depan di mana dokter dapat mengidentifikasi tanda-tanda peringatan dini autisme bahkan sebelum seorang anak lahir, sehingga memungkinkan dilakukannya intervensi dan strategi dukungan lebih awal.
Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini masih dalam tahap awal. Sanchez Martin, yang baru menjalani studi pascadoktoral dua tahun di CSHL, menekankan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Transisi dari model tikus ke embrio manusia merupakan proses yang panjang dan kompleks, memerlukan penelitian tambahan dan uji klinis selama bertahun-tahun.
Meskipun demikian, dampak potensial dari pekerjaan ini sangat besar. Dengan mengungkap hubungan rumit antara kesehatan ibu, perkembangan janin, dan risiko autisme, para peneliti membuka jalan bagi intervensi dan strategi dukungan yang lebih tepat sasaran. Hal ini dapat memberikan hasil yang lebih baik tidak hanya bagi anak-anak autis tetapi juga bagi ibu hamil dan keluarga yang terkena gangguan spektrum autisme.