NIJMEGEN, Belanda — Pernahkah Anda merasa otak Anda terbakar setelah sesi belajar yang melelahkan atau rapat kerja yang melelahkan? Anda tidak sendirian. Faktanya, sains kini mendukung apa yang selama ini kita duga: berpikir keras sungguh menyakitkan. Para peneliti mengonfirmasi bahwa upaya mental secara konsisten dikaitkan dengan perasaan yang tidak menyenangkan, yang menantang asumsi kita tentang kesenangan dari kegiatan intelektual.
Bayangkan ini: Anda sedang asyik bermain catur yang menantang, alis berkerut, sinapsis bekerja. Anda mungkin berasumsi bahwa senam mental yang dilakukan pada dasarnya bermanfaat. Lagi pula, mengapa jutaan orang secara sukarela terlibat dalam aktivitas yang menguras otak seperti itu? Namun menurut penelitian terbaru, kebenarannya jauh lebih rumit – dan sedikit tidak mengenakkan.
Dr. Erik Bijleveld dari Universitas Radboud, penulis senior studi tersebut, mengatakannya dengan lugas: “Secara umum, orang-orang sangat tidak menyukai usaha mental.” Pernyataan ini mungkin tampak berlawanan dengan intuisi pada awalnya. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang merayakan pencapaian intelektual dan mendorong pembelajaran seumur hidup. Namun, tim Bijleveld menyajikan kebenaran mendasar tentang kognisi manusia yang dapat membentuk kembali cara kita mendekati segala hal mulai dari pendidikan hingga produktivitas di tempat kerja.
Jadi mengapa kita memaksakan otak kita hingga batas maksimal?
Studi tersebut, yang merupakan meta-analisis dari 170 proyek penelitian terpisah, mencakup berbagai macam partisipan dan skenario yang mengesankan. Dari petugas kesehatan yang bingung dengan teknologi baru hingga atlet amatir yang mengasah ayunan golf mereka, hasilnya konsisten: semakin keras orang harus berpikir, semakin tidak menyenangkan pengalaman tersebut bagi mereka.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan yang provokatif: Jika upaya mental terasa sangat buruk, mengapa kita terus memaksakan diri untuk belajar, memecahkan masalah, dan mengatasi tantangan kognitif? Jawabannya, tampaknya, tidak terletak pada prosesnya, tetapi pada hasilnya. Bijleveld berpendapat bahwa ketika orang memilih aktivitas yang menuntut mental, “ini tidak boleh dianggap sebagai indikasi bahwa mereka menikmati upaya mental itu sendiri. Mungkin orang memilih aktivitas yang membutuhkan upaya mental meskipun ada upaya, bukan karena upaya itu.”
Dengan kata lain, kita bukanlah kaum masokis yang menikmati rasa sakit karena berpikir keras. Sebaliknya, kita memainkan permainan jangka panjang, menoleransi ketidaknyamanan jangka pendek demi keuntungan jangka panjang. Kepuasan karena memecahkan teka-teki yang rumit, kebanggaan karena menguasai keterampilan baru, atau antisipasi kemajuan karier mungkin lebih besar daripada ketidaknyamanan langsung akibat ketegangan mental.
Apakah aktivitas mental penting?
Penelitian ini, yang diterbitkan di Buletin Psikologismenghasilkan beberapa implikasi menarik. Bagi para pendidik, hal ini menunjukkan bahwa sekadar membuat pelajaran lebih menantang tidak akan secara otomatis membuat siswa tertarik. Bagi para manajer, hal ini menunjukkan bahwa menumpuk tuntutan kognitif tanpa dukungan yang tepat dapat menyebabkan karyawan tidak bahagia dan kelelahan.
“Ketika seseorang dituntut untuk mengerahkan upaya mental yang besar, Anda perlu memastikan untuk mendukung atau memberi penghargaan atas upaya mereka,” kata Bijleveld.
Menariknya, penelitian ini juga mengungkap perbedaan budaya dalam cara kerja mental dialami. Hubungan antara kerja mental dan perasaan negatif, meskipun masih ada, kurang kentara di negara-negara Asia dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Utara. Temuan ini mengisyaratkan peran norma budaya dan praktik pendidikan dalam membentuk hubungan kita dengan kerja kognitif.
Saat kita mengarungi ekonomi yang semakin berbasis pengetahuan, memahami hakikat sebenarnya dari usaha mental menjadi sangat penting. Penelitian ini menantang kita untuk memikirkan kembali cara kita menyusun pekerjaan, pendidikan, dan bahkan kegiatan rekreasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun kita tidak dapat menghilangkan ketidaknyamanan bawaan dari berpikir keras, kita dapat merancang lingkungan dan insentif yang membuatnya lebih tertahankan – dan pada akhirnya lebih memuaskan.
Jadi lain kali Anda merasa otak Anda sakit karena konsentrasi yang intens, jangan khawatir. Ketidaknyamanan yang Anda rasakan? Itu adalah pengalaman manusia universal dalam mendorong batasan kognitif. Dan meskipun mungkin tidak terasa menyenangkan saat itu, itu sering kali merupakan harga yang kita bayar untuk pertumbuhan, pencapaian, dan kepuasan manis dari tantangan mental yang berhasil ditaklukkan.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti melakukan meta-analisis terhadap 170 studi yang dipublikasikan antara tahun 2019 dan 2020, yang melibatkan 4.670 partisipan dari 29 negara. Studi-studi ini menggunakan alat standar yang disebut Indeks Beban Tugas NASA untuk mengukur upaya mental dan emosi negatif selama berbagai tugas kognitif. Dengan menggabungkan data dari berbagai studi tersebut, para peneliti dapat menarik kesimpulan umum tentang bagaimana orang-orang secara umum mengalami upaya mental di berbagai populasi dan jenis tugas.
Hasil
Temuan utamanya adalah hubungan positif yang kuat antara usaha mental dan afek negatif (perasaan tidak menyenangkan) di semua populasi dan tugas yang diteliti. Hubungan ini berlaku terlepas dari faktor-faktor seperti tingkat pendidikan, pengalaman kerja, atau desain tugas. Satu-satunya variasi yang signifikan adalah hubungan yang agak lemah antara usaha dan afek negatif dalam penelitian dari negara-negara Asia dibandingkan dengan penelitian dari Eropa atau Amerika Utara.
Keterbatasan
Studi ini mengandalkan pengukuran yang dilaporkan sendiri, yang mungkin tidak selalu mencerminkan pengalaman sebenarnya secara akurat. Selain itu, penelitian difokuskan pada pengalaman langsung selama mengerjakan tugas, bukan kepuasan jangka panjang atau manfaat potensial lainnya dari terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan usaha mental. Sifat observasional dari studi yang disertakan juga berarti bahwa hubungan sebab akibat tidak dapat dipastikan secara pasti.
Diskusi dan Kesimpulan
Para peneliti berpendapat bahwa upaya mental mungkin secara inheren merugikan otak, mungkin karena kendala biologis atau biaya peluang. Namun, mereka menekankan bahwa ini tidak berarti orang tidak dapat menemukan nilai atau kenikmatan dalam aktivitas yang menuntut mental. Kenikmatan kemungkinan berasal dari aspek lain dari aktivitas atau hasilnya, bukan dari upaya itu sendiri. Pemahaman ini dapat membantu dalam merancang program pendidikan, lingkungan kerja, dan intervensi yang lebih efektif untuk kondisi di mana kesulitan terlibat dalam tugas yang membutuhkan usaha merupakan suatu gejala.
Pendanaan dan Pengungkapan
Studi ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Radboud dan Universitas Maastricht di Belanda. Tidak ada sumber pendanaan spesifik atau konflik kepentingan yang disebutkan dalam makalah ini.