BARU YORK — Dalam labirin ingatan manusia, para ilmuwan telah menemukan sesuatu yang luar biasa: rasa takut tidak hanya membawa bayangan ke masa depan – tapi juga menjangkau ke belakang sepanjang waktu, menulis ulang kisah masa lalu kita. Ini bukanlah alur cerita thriller psikologis; Ini adalah penelitian inovatif yang dilakukan oleh sebuah tim di New York yang mengungkapkan bagaimana satu momen traumatis dapat secara surut mengubah ingatan kita akan pengalaman damai sebelumnya.
Bayangkan berjalan melalui taman di lingkungan Anda pada hari Senin sore yang cerah, lalu mengalami kejadian mengerikan di sana pada hari Rabu. Menurut peneliti dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai, otak Anda mungkin merevisi ingatan hari Senin itu, mewarnai momen-momen yang tadinya damai dengan warna-warna ketakutan. Penemuan ini menantang semua yang kita pikir kita ketahui tentang bagaimana ingatan disimpan dan dihubungkan dalam pikiran kita.
“Pandangan lama adalah bahwa ingatan terbentuk selama pembelajaran awal dan tetap stabil dalam rangkaian saraf seiring berjalannya waktu, memungkinkan kita mengingat pengalaman tertentu,” jelas Dr. Denise Cai, profesor ilmu saraf di Mount Sinai dan penulis senior buku tersebut. studi tersebut, dalam rilis media. “Pekerjaan kami dengan model tikus menunjukkan kelemahan teori ini, karena teori ini tidak memperhitungkan bagaimana otak dapat menyimpan ingatan sekaligus secara fleksibel memperbaruinya dengan informasi baru dan relevan.”
Menggunakan teknologi pencitraan kalsium mutakhir, penelitian ini dipublikasikan di Alam melacak aktivitas saraf pada tikus ketika mereka mengalami lingkungan yang berbeda – beberapa netral, yang lain menimbulkan rasa takut. Apa yang mereka temukan sungguh luar biasa: ketika tikus mengalami peristiwa traumatis, otak mereka tidak hanya mencatat rasa takutnya. Selama waktu istirahat, sirkuit saraf mereka mengaktifkan kembali ingatan dari hari-hari sebelumnya, menciptakan hubungan baru antara momen damai di masa lalu dan trauma yang baru saja terjadi.
“Kami mengetahui bahwa ketika tikus beristirahat setelah mengalami pengalaman yang sangat negatif, mereka secara bersamaan mengaktifkan kembali rangkaian saraf dari pengalaman tersebut dan memori netral masa lalu, sehingga mengintegrasikan dua modalitas memori yang berbeda,” ungkap Dr. Cai.
Melalui proses yang disebut “ensemble co-reaktivasi,” otak merangkai pengalaman-pengalaman terpisah ini, menciptakan permadani kenangan yang saling berhubungan. Mungkin yang paling mengejutkan, keterkaitan memori ini terjadi lebih sering saat terjaga dibandingkan saat tidur. Hal ini menantang anggapan konvensional tentang kapan dan bagaimana ingatan dikonsolidasikan.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa hubungan memori retrospektif ini terutama terlihat pada pengalaman negatif, menunjukkan bahwa otak kita sangat waspada dalam menghubungkan peristiwa masa lalu yang mungkin membantu kita menghindari bahaya di masa depan.
Penemuan ini memiliki implikasi besar untuk memahami kondisi seperti PTSD, di mana pengalaman traumatis dapat mewarnai kenangan dan pengalaman yang tampaknya tidak berhubungan. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan kita tidak disimpan begitu saja seperti dokumen di lemari – namun merupakan narasi hidup yang terus diedit dan diperbarui oleh otak kita saat kita menghadapi pengalaman baru di dunia yang terus berubah.
“Kombinasi stabilitas dan fleksibilitas dalam rangkaian saraf sangat penting bagi kita untuk membuat prediksi dan keputusan sehari-hari, dan untuk berinteraksi dengan dunia yang terus berubah,” Dr. Cai mencatat, menyoroti bagaimana keseimbangan halus ini membantu kita menavigasi kehidupan sehari-hari sambil tetap beradaptasi. terhadap keadaan baru.
Penelitian ini membuka jalan baru untuk memahami proses memori adaptif – bagaimana kita belajar dari pengalaman dan membuat hubungan sebab akibat – dan proses maladaptif, seperti respons rasa takut yang luar biasa yang menjadi ciri PTSD. Ketika para ilmuwan terus mengungkap mekanisme memori yang kompleks, kita belajar bahwa masa lalu kita bukan sekadar permulaan – ini adalah cerita yang terus-menerus direvisi oleh otak kita, mencari pola dan koneksi yang mungkin membantu kita bertahan hidup di dunia yang tidak dapat diprediksi.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Dalam penelitian ini, tikus dewasa dihadapkan pada lingkungan berbeda untuk menguji bagaimana urutan dan sifat pengalaman memengaruhi hubungan memori. Para peneliti menggunakan pencitraan kalsium untuk melacak aktivitas neuron di hipokampus, memantau rangkaian yang terkait dengan setiap pengalaman. Setelah setiap pengalaman, tikus-tikus tersebut beristirahat, sehingga para peneliti dapat mengamati bagaimana ingatan mereka dikonsolidasikan dan kemudian dihubungkan selama periode mengingat.
Hasil Utama
Studi tersebut menunjukkan bahwa setelah mengalami pengalaman traumatis, tikus tidak hanya mengaktifkan kembali ingatan akan peristiwa tersebut tetapi juga ingatan dari hari-hari sebelumnya. Kaitan retrospektif ini menciptakan asosiasi rasa takut dengan lingkungan yang sebelumnya netral. Pencitraan kalsium memastikan bahwa neuron yang terkait dengan pengalaman netral diaktifkan kembali bersamaan dengan neuron yang terkait dengan trauma, menunjukkan bagaimana otak secara fisik mengintegrasikan ingatan yang terpisah ini.
Keterbatasan Studi
Meskipun penelitian ini menawarkan wawasan yang menarik, penelitian ini berfokus pada tikus, dan masih ada kesenjangan dalam menerjemahkan temuan ini langsung ke manusia. Selain itu, penelitian ini mengamati jenis ingatan tertentu (netral vs. berdasarkan rasa takut), yang mungkin tidak menangkap seluruh potensi hubungan ingatan dengan emosi lain.
Diskusi & Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa ingatan bersifat dinamis, terus diperbarui untuk mencerminkan pengalaman baru. Temuan ini memiliki implikasi yang signifikan untuk memahami PTSD, di mana ingatan traumatis dapat bercampur dengan ingatan lain yang tidak mengancam, sehingga menyebabkan respons rasa takut yang terlalu umum. Pendekatan terapeutik berpotensi menargetkan periode reaktivasi offline ini untuk mencegah hubungan yang tidak diinginkan.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini didanai oleh Nash Department of Neuroscience di Icahn School of Medicine di Mount Sinai dan institusi lainnya, tanpa ada laporan konflik kepentingan.