MELBOURNE — Dalam beberapa tahun terakhir, diet rendah karbohidrat dan tinggi lemak telah mendapatkan popularitas luar biasa sebagai strategi penurunan berat badan. Dari Atkins hingga keto, diet ini menjanjikan penurunan berat badan yang cepat dan peningkatan kesehatan. Namun, penelitian baru memperingatkan bahwa pola makan yang sedang tren ini sebenarnya dapat meningkatkan risiko terkena diabetes tipe 2 dalam jangka panjang.
Sebuah studi inovatif oleh sebuah tim di Australia telah mengungkap hubungan yang mengejutkan antara diet rendah karbohidrat dan peningkatan risiko diabetes. Para peneliti dari Universitas Monash dan Universitas RMIT mengikuti lebih dari 39.000 orang dewasa selama hampir 14 tahun untuk menyelidiki hubungan ini.
Studi ini, yang diterbitkan dalam jurnal Diabetes dan Sindrom Metabolik: Penelitian dan Tinjauan Klinismenemukan bahwa orang yang menjalankan diet rendah karbohidrat, tinggi lemak, dan tinggi protein memiliki Risiko 20% lebih tinggi mengembangkan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi makanan yang lebih seimbang. Temuan ini menantang kepercayaan umum bahwa mengurangi karbohidrat bermanfaat secara universal bagi kesehatan metabolisme.
“Mengonsumsi makanan yang mengandung banyak lemak jenuh dapat menyebabkan penambahan berat badan, tetapi kita tahu bahwa makanan tersebut juga menyebabkan resistensi insulin yang merupakan salah satu penyebab diabetes tipe 2, terlepas dari penambahan berat badan,” jelas Profesor Terhormat Barbora de Courten dalam rilis media.
Namun, sebelum Anda terburu-buru mengisi ulang dapur Anda dengan pasta dan roti, penting untuk memahami nuansa penelitian ini. Hubungan antara diet rendah karbohidrat dan risiko diabetes tidak sesederhana yang terlihat pada pandangan pertama.
Para peneliti menggunakan sistem penilaian yang disebut skor diet rendah karbohidrat (LCD) untuk mengukur seberapa dekat peserta mengikuti pola makan rendah karbohidrat. Skor LCD yang lebih tinggi berarti seseorang mengonsumsi lebih sedikit karbohidrat dan lebih banyak lemak dan protein. Penelitian ini membagi peserta menjadi lima kelompok berdasarkan skor LCD mereka.
Menariknya, kelompok dengan skor LCD tertinggi (artinya mereka mengonsumsi karbohidrat paling sedikit) mengonsumsi sekitar 37,5% kalori mereka dari karbohidrat. Sebaliknya, kelompok dengan skor LCD terendah memperoleh sekitar 55,4% kalori mereka dari karbohidrat. Sebagai perbandingan, banyak diet rendah karbohidrat yang populer menyarankan untuk memperoleh kurang dari 26% kalori dari karbohidrat, yang bahkan lebih rendah daripada kelompok dengan skor LCD tertinggi dalam penelitian ini.
Jadi mengapa diet rendah karbohidrat dapat meningkatkan risiko diabetes? Jawabannya kemungkinan besar terletak pada apa yang dimakan orang, bukan karbohidrat. Dalam penelitian ini, mereka yang memiliki skor LCD lebih tinggi cenderung mengonsumsi lebih banyak lemak jenuh dan lebih sedikit serat. Mereka juga cenderung mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, merokok, dan kurang aktif secara fisik – semuanya merupakan faktor risiko yang diketahui untuk diabetes tipe 2.
Ketika para peneliti memperhitungkan indeks massa tubuh (IMT) dalam analisis mereka, hubungan antara skor LCD dan risiko diabetes menghilang. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan risiko diabetes yang terkait dengan diet rendah karbohidrat sebagian besar dapat dijelaskan oleh perbedaan berat badan.
“Bagi orang yang tidak menderita diabetes, pola makan seimbang adalah pilihan terbaik,” kata de Courten. “Kita perlu mengingat bahwa tidak semua karbohidrat sama. Jenis karbohidrat yang harus dihindari adalah gula olahan seperti minuman ringan, jus, nasi putih, roti putih, dan menggantinya dengan karbohidrat yang tidak diolah dan kaya serat seperti biji-bijian, beras merah, dan kacang-kacangan.”
“Dan makan lebih banyak lemak tak jenuh tunggal dan ganda yang sehat seperti alpukat, kacang-kacangan, minyak zaitun, dan ikan berlemak seperti salmon.”
Studi ini berfungsi sebagai pengingat bahwa tidak ada pendekatan nutrisi yang cocok untuk semua orang. Meskipun diet rendah karbohidrat mungkin efektif untuk penurunan berat badan jangka pendek, dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan masih belum dipahami. Seperti biasa, diet seimbang, aktivitas fisik teratur, dan menjaga berat badan yang sehat tetap menjadi landasan pencegahan diabetes.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menggunakan data dari Melbourne Collaborative Cohort Study, yang diikuti oleh 39.185 orang dewasa berusia 40-69 tahun selama hampir 14 tahun. Para peserta mengisi kuesioner frekuensi makanan di awal penelitian, yang digunakan untuk menghitung skor LCD mereka. Para peneliti kemudian melacak siapa yang mengembangkan diabetes tipe 2 selama periode tindak lanjut.
Hasil Utama
Orang-orang dalam kelompok skor LCD tertinggi (yang mengonsumsi karbohidrat paling sedikit) memiliki risiko 20% lebih tinggi terkena diabetes tipe 2 dibandingkan dengan mereka yang berada dalam kelompok skor LCD terendah. Namun, peningkatan risiko ini menghilang ketika para peneliti memperhitungkan BMI, yang menunjukkan bahwa berat badan memainkan peran penting dalam hubungan ini.
Keterbatasan Studi
Studi ini mengandalkan informasi diet yang dilaporkan sendiri, yang bisa jadi tidak akurat. Selain itu, kasus diabetes dilaporkan sendiri, meskipun sebagian besar divalidasi oleh dokter. Studi ini juga tidak dapat membedakan antara berbagai jenis karbohidrat (seperti biji-bijian utuh vs. biji-bijian olahan) atau antara sumber protein dan lemak nabati dan hewani.
Diskusi & Kesimpulan
Studi ini menyoroti kompleksitas penelitian gizi dan pentingnya mempertimbangkan pola makan secara keseluruhan, bukan hanya nutrisi tunggal. Meskipun diet rendah karbohidrat dapat menyebabkan penurunan berat badan jangka pendek, efek jangka panjangnya terhadap kesehatan mungkin kurang bermanfaat. Temuan ini menunjukkan bahwa kualitas lemak dan protein yang dikonsumsi sebagai pengganti karbohidrat, serta keseimbangan kalori dan berat badan secara keseluruhan, merupakan faktor penting dalam menentukan risiko diabetes.
Pendanaan & Pengungkapan
Studi Kohort Kolaboratif Melbourne didanai oleh VicHealth, Cancer Council Victoria, dan Australian National Health and Medical Research Council. Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.