

(ID 6124077 © Ajay Bhaskar | Dreamstime.com)
SÃO PAULO, Brasil — Bagaimanapun, pereda nyeri mungkin tumbuh di pohon. Dalam upaya kolaboratif yang melibatkan beberapa universitas di Brasil, para peneliti telah menemukan bukti kuat bahwa daun pohon srikaya – yang secara tradisional digunakan dalam pengobatan tradisional – mengandung senyawa kuat anti-rematik yang melawan rasa sakit dan peradangan.
Srikaya, yang dikenal di Brazil sebagai “fruta-do-conde” atau “pinha,” telah lama dihargai karena buahnya yang manis. Namun, daunnya (Annona skuamosa) telah menarik minat ilmiah karena potensi khasiat terapeutiknya, khususnya dalam mengobati nyeri dan peradangan.
Diterbitkan di jurnal Farmasipenelitian ini dilakukan oleh tim dari Universitas Federal Grande Dourados, Universitas Federal Mato Grosso do Sul, Universitas Negeri Campinas (UNICAMP), dan Universitas Negeri São Paulo.
Penatalaksanaan nyeri modern sering kali sangat bergantung pada dua golongan obat: opioid dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Meskipun efektif, keduanya mempunyai kelemahan yang signifikan. Opioid membawa risiko ketergantungan dan kecanduan, sedangkan penggunaan NSAID jangka panjang dapat menyebabkan maag dan masalah kardiovaskular. Keterbatasan ini mendorong pencarian alternatif yang lebih aman.


Pendekatan tim peneliti bersifat metodis. Mereka menciptakan ekstrak metanol (EMAS) dari daun srikaya kering menggunakan metanol sebagai pelarut, dan juga mengisolasi senyawa spesifik yang disebut palmatineyang terbukti penting bagi temuan mereka.
Dalam beberapa percobaan, EMAS dan palmatine menunjukkan kemampuan yang signifikan untuk mengurangi peradangan dan nyeri. Ketika diuji terhadap radang selaput dada (radang selaput paru-paru), dosis yang lebih tinggi terbukti sangat efektif, dengan EMAS mengurangi migrasi sel inflamasi hingga 81% dan palmatine hingga 75%.
Senyawa tersebut menunjukkan harapan khusus dalam mengatasi peradangan sendi. Ketika peneliti menginduksi peradangan sendi pada tikus menggunakan zymosan, kedua zat tersebut mengurangi sensitivitas nyeri, pembengkakan, dan akumulasi sel inflamasi. Khususnya, efektivitas palmatine setara dengan prednisolon, obat anti-inflamasi konvensional yang digunakan sebagai obat referensi.
Dengan menggunakan uji formalin, metode standar untuk mengevaluasi respons nyeri, para peneliti menemukan bahwa palmatine secara spesifik mengurangi nyeri inflamasi dibandingkan nyeri akut, sehingga menunjukkan potensi penerapannya pada kondisi nyeri kronis seperti artritis.


“Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan palmatine diekstraksi dari A.skuamosa mempunyai potensi analgesik dan anti-inflamasi. Palmatine juga memiliki sifat anti-hiperalgesik, yang mungkin melibatkan penghambatan jalur yang dimediasi faktor nekrosis tumor,” jelas rekan penulis studi Marcos José Salvador, profesor penuh di Departemen Biologi Tumbuhan di UNICAMP, dalam sebuah pernyataan. “Kami juga menyimpulkan bahwa palmatine mungkin merupakan salah satu komponen yang bertanggung jawab atas sifat anti-rematik pada tanaman.”
Temuan ini sangat menarik karena pengobatan jangka panjang dengan analog glukokortikoid dapat menyebabkan komplikasi serius seperti insufisiensi adrenal dan resistensi insulin. Meskipun terlalu dini untuk memposisikan senyawa ini sebagai alternatif langsung terhadap obat-obatan yang ada, kinerjanya yang menjanjikan memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Baik EMAS maupun palmatine tidak menunjukkan efek toksik pada sel darah putih dalam uji laboratorium, yang menunjukkan profil keamanan awal yang menjanjikan. “Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai apakah, dalam formulasi lain, efek dan sifat farmakokinetik palmatine akan berubah,” kata Salvador.
Ketika pengobatan modern bergulat dengan krisis opioid dan risiko jangka panjang dari obat pereda nyeri konvensional, alam terus menawarkan alternatif yang menarik. Pohon srikaya, yang tumbuh dengan tenang di taman tropis, mengingatkan kita bahwa terkadang obat yang paling ampuh tidak dibuat di laboratorium — obat tersebut hanya menunggu untuk ditemukan.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti melakukan beberapa percobaan menggunakan model tikus untuk menguji EMAS dan palmatine. Mereka pertama-tama menciptakan peradangan dengan berbagai cara – termasuk menyuntikkan bahan iritan ke dalam rongga dada atau persendian – kemudian mengukur bagaimana EMAS dan palmatine memengaruhi berbagai penanda peradangan dan nyeri. Mereka menggunakan teknik canggih untuk mengukur sensitivitas nyeri, pembengkakan, dan jumlah sel inflamasi, sekaligus melakukan analisis kimia untuk mengidentifikasi senyawa aktif dalam ekstrak daun.
Hasil
Kedua zat tersebut menunjukkan sifat antiinflamasi dan pereda nyeri yang signifikan dalam beberapa pengujian. EMAS terbukti efektif pada dosis 100-300 mg/kg, sedangkan palmatine menunjukkan efek pada 1-3 mg/kg. Hasilnya sebanding dengan obat anti-inflamasi konvensional dalam banyak kasus, terutama dalam mengurangi peradangan sendi dan nyeri inflamasi.
Keterbatasan
Penelitian ini hanya dilakukan pada tikus, sehingga diperlukan uji coba pada manusia untuk memastikan efek ini pada manusia. Para peneliti juga tidak mengevaluasi toksisitas jangka panjang atau menyelidiki semua mekanisme aksi yang mungkin terjadi. Selain itu, hanya beberapa dosis yang diuji, sehingga pertanyaan tentang dosis optimal tidak terjawab.
Diskusi dan Kesimpulan
Penelitian ini memberikan dukungan ilmiah terhadap penggunaan obat tradisional daun srikaya. Identifikasi palmatine sebagai senyawa aktif utama dapat membuka peluang pengembangan obat baru. Studi tersebut menunjukkan bahwa senyawa alami ini mungkin menawarkan alternatif terhadap obat pereda nyeri yang ada saat ini, dengan efek samping yang lebih sedikit.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini mendapat dukungan dari FAPESP melalui lima proyek berbeda, serta pendanaan dari beberapa organisasi penelitian Brasil termasuk CAPES, CNPq, dan berbagai hibah universitas. Penelitian ini mewakili upaya kolaboratif yang signifikan antara berbagai universitas dan lembaga penelitian di Brasil, yang menunjukkan kuatnya sifat penyelidikan tersebut. Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.