

(Kredit foto: © Bazruh | Dreamstime.com)
FREIBURG, Jerman — Memori membentuk perilaku di seluruh dunia hewan, mulai dari gajah yang mengenali anggota kawanan yang telah lama hilang hingga anjing yang mengingat di mana mereka mengubur mainan favoritnya. Kini, penelitian mengungkapkan bahwa otak semut yang sangat kecil sekalipun dapat membentuk kenangan abadi akan pertemuan yang bermusuhan, sehingga membuat mereka menyimpan dendam serangga terhadap koloni saingannya.
Para ilmuwan di Universitas Freiburg telah menemukan bahwa semut memiliki kemampuan belajar canggih yang membantu mereka mengenali dan merespons secara lebih agresif terhadap semut dari koloni yang sebelumnya menyerang mereka. Penelitian yang dipublikasikan di Current Biology ini membuktikan bahwa perselisihan antar tetangga pun terjadi di koloni kecil di bawah tanah.
Penelitian ini berfokus pada semut taman hitam (Lasius niger), spesies yang umum ditemukan di seluruh Eropa. Semut ini hidup berkoloni yang sering berinteraksi dengan kelompok tetangganya untuk mencari makan dan mempertahankan wilayahnya. Setiap sarang memiliki ciri atau aroma kimiawi uniknya sendiri, yang digunakan semut untuk membedakan teman dan musuh. Saat menghadapi saingannya, mereka mungkin membuka mandibula dengan sikap mengancam, menggigit secara agresif, atau bahkan menyemprotkan asam untuk membunuh pesaingnya.


Dalam serangkaian eksperimen yang elegan, tim peneliti memaparkan individu semut pada pertemuan singkat dengan semut dari koloni lain. Pertemuan-pertemuan ini hanya berlangsung satu menit setiap hari selama lima hari. Para ilmuwan dengan cermat melacak perilaku agresif semut, seperti membuka rahang bawah dengan nada mengancam atau mencoba menggigit lawannya.
Ternyata, semut-semut tersebut menjadi semakin agresif terhadap individu-individu dari koloni yang pernah mereka lawan sebelumnya, dan menunjukkan berkurangnya rasa permusuhan terhadap semut-semut asing dari koloni-koloni yang belum pernah mereka temui. Pola ini menunjukkan bahwa semut dapat membentuk ingatan spesifik tentang musuhnya dan menyesuaikan perilakunya.
Bahkan tiga pertemuan singkat dalam jangka waktu 45 menit sudah cukup bagi semut untuk mengembangkan pengenalan yang lebih baik terhadap lawannya, meskipun efeknya lebih kuat ketika pembelajaran terjadi selama beberapa hari.


Yang paling menarik, penelitian ini mengungkap apa yang oleh para ilmuwan disebut sebagai “efek tetangga yang buruk”. Semut menunjukkan tingkat agresi tertinggi terhadap koloni yang berada dalam jangkauan mencari makan (sekitar 5 meter), dibandingkan dengan koloni yang terletak lebih jauh. Meningkatnya permusuhan terhadap saingan di dekatnya masuk akal secara evolusioner, karena koloni-koloni tetangga bersaing secara langsung untuk mendapatkan sumber daya dan mewakili ancaman yang paling mendesak.
Proses pembelajaran tampaknya didorong oleh pembelajaran asosiatif, mirip dengan bagaimana anjing-anjing Pavlov belajar mengasosiasikan bel dengan makanan. Dalam hal ini, semut mengasosiasikan ciri-ciri kimiawi koloni saingannya dengan pertemuan agresif yang mereka alami. Ketika peneliti mencegah interaksi agresif dengan menonaktifkan kemampuan menyerang beberapa semut, efek pembelajaran menghilang, menegaskan bahwa konfrontasi fisik berfungsi sebagai pemicu penting untuk pembentukan memori.
Mekanisme ini membantu menjelaskan mengapa semut pekerja yang lebih tua, terutama semut pekerja yang menghabiskan lebih banyak waktu di luar sarang, cenderung lebih agresif dibandingkan semut pekerja yang lebih muda. Peningkatan keterpaparan mereka terhadap koloni saingan memberikan lebih banyak kesempatan untuk belajar dan mengingat potensi ancaman, menjadikan mereka pembela koloni yang lebih efektif.


“Kita sering mempunyai gagasan bahwa serangga berfungsi seperti robot yang telah diprogram,” kata Dr. Volker Nehring, rekan peneliti di kelompok Biologi Evolusioner dan Ekologi Hewan di Universitas Freiburg, dalam sebuah pernyataan. “Studi kami memberikan bukti baru bahwa, sebaliknya, semut juga belajar dari pengalaman mereka dan bisa menyimpan dendam.”
Ke depan, tim peneliti berencana untuk menyelidiki apakah dan sejauh mana semut mengadaptasi reseptor penciumannya berdasarkan pengalaman ini, sehingga berpotensi mengungkap dasar fisiologis dari kemampuan belajar yang luar biasa ini.
Pada akhirnya, tampaknya serangga kecil ini memiliki lebih banyak kesamaan dengan gajah daripada yang kita sadari – mereka juga tidak pernah lupa, terutama jika menyangkut musuhnya.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti melakukan empat percobaan utama. Pertama, mereka mempelajari bagaimana agresi semut bervariasi berdasarkan jarak antar koloni di lingkungan alami. Mereka kemudian menguji bagaimana semut merespons pertemuan berulang kali dengan koloni saingan tertentu, baik selama beberapa hari maupun secara berurutan. Terakhir, mereka menyelidiki apakah interaksi agresif itu sendiri diperlukan untuk pembentukan memori dengan menggunakan semut yang kemampuan menyerangnya dinonaktifkan. Setiap percobaan menggunakan kontrol yang cermat dan ukuran perilaku agresif yang terstandarisasi.
Hasil
Studi tersebut menemukan bahwa semut secara konsisten menunjukkan agresi yang lebih tinggi terhadap koloni yang pernah mereka lawan sebelumnya, dibandingkan dengan koloni asing. Koloni tetangga (dalam jarak 5 meter) memicu respons agresif yang paling kuat. Efek pembelajaran terjadi selama beberapa hari dan dalam satu jam, meskipun paparan jangka panjang memberikan hasil yang lebih kuat. Ketika interaksi agresif dicegah, semut gagal mengembangkan pengenalan yang lebih baik terhadap lawannya.
Keterbatasan
Penelitian ini terutama berfokus pada satu spesies semut, dan hasilnya mungkin tidak berlaku untuk semua serangga sosial. Kondisi laboratorium, meskipun dikontrol dengan hati-hati, mungkin tidak secara sempurna meniru interaksi koloni alami. Selain itu, mekanisme di balik pembentukan memori pada tingkat neurologis masih belum jelas dan memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Diskusi dan Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa semut dapat membentuk ingatan spesifik tentang koloni saingannya berdasarkan pertemuan agresif, yang mengarah pada peningkatan pengenalan dan peningkatan agresi dalam interaksi di masa depan. Kemampuan ini membantu menjelaskan berbagai perilaku yang diamati dalam koloni semut, termasuk efek tetangga yang jahat dan perbedaan tingkat agresi yang berkaitan dengan usia di antara semut pekerja.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini didanai oleh German Research Foundation (NE 1969/6-1). Para penulis menyatakan tidak ada kepentingan yang bersaing.
Informasi Publikasi
Diterbitkan di Current Biology (Volume 35, Halaman 1-6, 20 Januari 2025), penelitian ini ditulis oleh Melanie Bey, Rebecca Endermann, Christina Raudies, Jonas Steinle, dan Volker Nehring dari Departemen Biologi Evolusioner dan Ekologi di Universitas dari Freiburg, Jerman.