PASADENA, California — Selama 38 tahun, rahasia Uranus tetap berada di luar jangkauan umat manusia. Namun kini, penelitian mendalam terhadap data dari pesawat ruang angkasa Voyager 2 milik NASA mungkin mengubah apa yang kita pikir telah kita ketahui tentang planet yang jauh ini. Para astronom akhirnya bisa memberikan petunjuk baru tentang perilaku aneh raksasa es yang disaksikan empat dekade lalu.
Ketika Voyager 2 melakukan penerbangan jarak dekat Uranus yang pertama dan satu-satunya pada tahun 1986, para ilmuwan masih kebingungan. Magnetosfer planet ini – gelembung pelindung yang melindunginya dari angin Matahari yang kuat – berperilaku tidak masuk akal. Sabuk radiasi Uranus sangat kuat, namun magnetosfer lainnya hampir tidak memiliki partikel berenergi yang biasanya memenuhi wilayah tersebut.
“Penerbangan lintas ini penuh dengan kejutan, dan kami sedang mencari penjelasan atas perilakunya yang tidak biasa,” kenang Linda Spilker, ilmuwan misi Voyager 2 yang kembali memimpin proyek tersebut, dalam rilis media. “Magnetosfer yang diukur Voyager 2 hanyalah cuplikan waktu.”
Kini, berkat analisis ulang baru-baru ini terhadap data berusia puluhan tahun tersebut, para ilmuwan yakin mereka telah memecahkan kasus ini. Menurut sebuah studi baru di Astronomi Alamkunci untuk memahami magnetosfer Uranus terletak pada jenis cuaca luar angkasa yang tidak biasa yang kebetulan terjadi selama pertemuan singkat Voyager 2.
Pada hari-hari sebelum terbang lintas tersebut, Matahari telah mengeluarkan semburan gas terionisasi, atau plasma, dalam bentuk “peristiwa angin matahari”. Hal ini menekan magnetosfer Uranus, sehingga secara dramatis mengubah perilakunya dan memberikan pandangan yang menyimpang pada Voyager 2 tentang lingkungan magnetik planet yang sebenarnya.
“Jika Voyager 2 tiba beberapa hari sebelumnya, ia akan mengamati magnetosfer yang sangat berbeda di Uranus,” jelas penulis utama Jamie Jasinski dari Jet Propulsion Laboratory NASA.
Magnetosfer sangat penting bagi kelayakhunian sebuah planet, melindungi permukaannya dari pemboman terus-menerus partikel bermuatan yang mengalir dari Matahari. Dengan memahami bagaimana magnetosfer Uranus merespons cuaca matahari seperti ini, para ilmuwan dapat mempelajari lebih lanjut tentang proses mendasar yang membentuk medan magnet tata surya kita dan sekitarnya.
Temuan baru ini juga memberikan harapan bagi masa depan eksplorasi Uranus. Selama bertahun-tahun, kelembaman lima bulan utama di planet ini telah membingungkan para ilmuwan. Namun jika bulan-bulan tersebut benar-benar memuntahkan ion ke magnetosfer, seperti yang ditunjukkan oleh studi baru, maka bulan-bulan tersebut mungkin menyimpan lebih banyak aktivitas geologi dan potensi kehidupan daripada yang diperkirakan sebelumnya.
“Pekerjaan baru ini menjelaskan beberapa kontradiksi yang tampak, dan sekali lagi akan mengubah pandangan kita tentang Uranus,” kata Spilker.
Dengan Uranus yang kini kembali masuk radar komunitas ilmiah, panggungnya siap untuk kunjungan kembali yang telah lama dinantikan. Survei Dekadal Ilmu Planet dan Astrobiologi Akademi Nasional tahun 2023 telah mengidentifikasi raksasa es tersebut sebagai target prioritas untuk misi NASA di masa depan, sehingga menawarkan peluang untuk mengungkap lebih banyak misteri abadi planet ini.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Studi ini menganalisis data dari pesawat ruang angkasa Voyager 2 yang terbang melintasi Uranus pada tahun 1986. Para peneliti mengkaji ulang pengukuran kondisi angin matahari dan magnetosfer Uranus. Voyager 2 mencatat kondisi ini sebelum dan selama pendekatannya ke planet ini, menangkap data real-time mengenai tekanan angin matahari, batas magnetosfer, dan intensitas sabuk radiasi.
Dengan menggunakan simulasi magnetohidrodinamik, tim memperkirakan bagaimana variasi tekanan angin matahari akan berdampak pada magnetosfer Uranus. Mereka membandingkan variasi simulasi ini dengan kondisi yang diamati untuk menentukan seberapa sering magnetosfer Uranus terlihat serupa dengan kondisi yang ditemui Voyager 2.
Hasil Utama
Analisis mengungkapkan bahwa Voyager 2 kemungkinan mengalami peristiwa langka: magnetosfer Uranus terkompresi oleh tekanan angin matahari yang sangat tinggi. Keadaan terkompresi ini dapat menjelaskan sabuk radiasi elektron yang intens dan kepadatan plasma rendah yang diamati Voyager 2.
Dalam kondisi tertentu, magnetosfer Uranus akan berkurang kompresinya, sehingga menghasilkan medan magnet yang lebih besar dan lebih stabil di sekitar planet ini. Studi tersebut memperkirakan bahwa hanya 5% dari waktu magnetosfer Uranus mencapai keadaan terkompresi yang didokumentasikan Voyager 2. Ini berarti kondisi magnetosfer ekstrem yang diamati selama terbang lintas mungkin tidak mewakili keadaan rata-rata Uranus.
Keterbatasan Studi
Studi ini mengandalkan data dari satu kali terbang lintas, sehingga membatasi kemampuan untuk menggeneralisasi temuan ini pada kondisi umum di Uranus. Selain itu, kesenjangan dalam data angin matahari selama terbang lintas mengurangi ketepatan pengukuran tekanan yang tepat. Simulasi tersebut membantu memodelkan beberapa variabilitas tetapi tidak dapat menangkap seluruh kompleksitas magnetosfer Uranus. Berbagai pengukuran dari waktu ke waktu akan memberikan wawasan yang lebih komprehensif mengenai lingkungan magnetik Uranus.
Diskusi & Kesimpulan
Studi tersebut menunjukkan bahwa magnetosfer Uranus mungkin tidak ekstrem seperti yang diperkirakan sebelumnya. Lintasan Voyager 2 terjadi di bawah tekanan angin matahari yang sangat tinggi, yang menekan medan magnet Uranus dan menciptakan fitur magnetosfer yang tidak lazim. Wawasan ini berharga untuk merencanakan misi masa depan dan mengembangkan model magnetosfer Uranus yang lebih akurat. Para ilmuwan sekarang percaya bahwa temuan dari flyby Voyager 2 tidak boleh dianggap mewakili kondisi magnetosfer khas planet ini.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini mendapat dukungan dari Jet Propulsion Laboratory NASA dan dilakukan dengan kontribusi dari berbagai institusi, termasuk California Institute of Technology dan Johns Hopkins University. Para penulis telah menyatakan tidak ada kepentingan yang bersaing.