

(Kredit: Ekahardiwito/Shutterstock)
TORONTO — Penyakit kudis mungkin merupakan sesuatu yang mungkin dianggap tidak nyata oleh banyak orang. Itu karena Anda mungkin hanya mendengarnya di film bajak laut dan cerita tentang petualangan laut dari tahun 1700an! Ternyata penyakit kudis sangat nyata dan masih menyerang manusia di tahun 2024.
Sebuah studi baru menemukan bahwa penyakit ini, yang dikaitkan dengan pelaut abad ke-18, masih dapat muncul di masyarakat meskipun Anda tidak melakukan perjalanan laut yang jauh. Faktanya, investigasi terbaru diterbitkan di Jurnal Asosiasi Medis Kanada telah mendokumentasikan kasus penyakit kudis pada seorang wanita berusia 65 tahun yang berjuang melawan masalah mobilitas dan isolasi sosial.
Para pasien tiba di ruang gawat darurat rumah sakit dengan kaki yang semakin melemah dan kesulitan bergerak. Apa yang awalnya tampak seperti masalah mobilitas yang sederhana, kemudian berkembang menjadi misteri medis kompleks yang menyoroti relevansi kekurangan nutrisi dalam layanan kesehatan masa kini.
Apa itu penyakit kudis?
Menurut Klinik Cleveland, penyakit kudis adalah penyakit akibat kekurangan vitamin C yang serius. Kurangnya makan buah dan sayuran biasanya menjadi penyebab utama kondisi ini. Jika tidak diobati, penyakit ini dapat menyebabkan masalah gigi yang serius, termasuk gusi berdarah dan gigi goyang. Ini juga dapat menyebabkan pendarahan di bawah kulit Anda.
Perjalanan pasien menuju diagnosis dimulai dengan beberapa gejala aneh. Selama sekitar tiga bulan, dia melihat perubahan warna kulit yang tidak biasa di kedua pahanya. Konsultasi telehealth dengan dokter keluarganya menyebabkan kesalahan diagnosis infeksi jamur, sehingga ia diberi resep krim antijamur yang tidak membantu. Petunjuk sebenarnya mengenai kondisinya tersembunyi dalam gaya hidup dan pola makannya.
Tinggal sendirian dengan dukungan sosial yang terbatas, para peneliti mengatakan perempuan tersebut telah berjuang selama bertahun-tahun dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berbelanja dan memasak karena masalah mobilitasnya. Akibatnya, pola makannya menjadi sangat dibatasi, terutama terdiri dari sup kalengan, ikan tuna, roti putih, dan keju olahan. Menu terbatas ini, tanpa produk segar, memicu krisis gizi.
Setelah tiba di rumah sakit, dokter melihat beberapa tanda: bercak seperti memar di kulitnya, terutama di area selangkangan dan kaki bagian atas, serta bintik kecil berwarna ungu kemerahan di sekitar folikel rambut di kaki bagian bawah. Mungkin yang paling mencolok adalah penampakan gusinya yang bengkak dan menunjukkan tanda-tanda pendarahan.
Gejala-gejala ini, ditambah dengan riwayat pola makannya, membuat tim medis mencurigai penyebab yang tidak biasa: kekurangan vitamin C, yang juga dikenal dengan nama lamanya, penyakit kudis. Diagnosis ini dipastikan ketika tes darah menunjukkan tingkat vitamin C yang hampir tidak terdeteksi dalam sistem tubuhnya. Sederhananya, pasien hanya memiliki sedikit vitamin C di tubuhnya sehingga membuatnya sakit parah.


Penyakit Kudis Lebih Umum Dari Yang Anda Pikirkan
Kekurangan vitamin C lebih umum terjadi daripada yang Anda duga di zaman modern. Pada abad ke-21, para peneliti memperkirakan bahwa hingga 5,9% populasi Amerika Serikat menderita kadar vitamin C yang rendah, sehingga membuat mereka berisiko terkena penyakit kudis. Tim Kanada menambahkan bahwa hingga 25% kelompok tertentu yang hidup dalam kondisi ekonomi buruk di Inggris menghadapi risiko yang sama.
“Kasus ini memberikan contoh kompleks kerawanan pangan yang bermanifestasi sebagai diagnosis yang tidak biasa,” kata Dr. Sarah Engelhart, dokter penyakit dalam umum di Rumah Sakit Mount Sinai dan Universitas Toronto, dalam siaran persnya. “Diagnosis pemersatu terungkap hanya setelah penilaian rinci terhadap riwayat sosial dan pola makannya.”
Kasus baru ini menjadi pengingat bahwa bahkan di negara-negara maju, kekurangan gizi dapat terjadi, terutama di kalangan populasi rentan. Faktor-faktor seperti keterbatasan mobilitas, isolasi sosial, dan kerawanan pangan dapat menciptakan kondisi sempurna untuk berkembangnya penyakit kudis, bahkan di abad ke-21.
Perawatan untuk pasien sangatlah mudah setelah diagnosis ditegakkan. Dia menerima vitamin C dosis tinggi secara intravena selama seminggu, diikuti dengan suplemen oral. Gejalanya mulai membaik, dan dia akhirnya dipulangkan ke fasilitas rehabilitasi dengan rencana perawatan lanjutan.
Meskipun penyakit kudis mungkin tampak seperti peninggalan masa lalu, kasus ini mengingatkan kita bahwa sejarah dapat terulang kembali dengan cara yang tidak terduga. Hal ini merupakan seruan bagi penyedia layanan kesehatan untuk tetap waspada terhadap kesehatan gizi dan mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas dalam kehidupan pasien ketika membuat diagnosis.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Penelitian ini dilakukan sebagai laporan kasus, dengan fokus pada satu pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan gejala spesifik. Tim medis melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh dan mengambil riwayat medis dan sosial secara rinci. Mereka juga melakukan berbagai tes laboratorium, termasuk pemeriksaan darah, untuk memeriksa kadar vitamin dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari gejala yang dialami pasien.
Hasil Utama
Temuan kuncinya adalah tingkat vitamin C pasien yang tidak terdeteksi dalam darahnya, yang menegaskan diagnosis penyakit kudis. Hasil lainnya termasuk tanda-tanda anemia (jumlah sel darah merah yang rendah) dan adanya perubahan karakteristik pada kulit dan gusi yang berhubungan dengan kekurangan vitamin C.
Keterbatasan Studi
Sebagai studi kasus terhadap satu pasien, laporan ini tidak dapat digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas. Laporan ini tidak memberikan informasi mengenai prevalensi kekurangan vitamin C pada demografi serupa atau populasi umum.
Diskusi & Kesimpulan
Para penulis menekankan pentingnya mempertimbangkan kekurangan nutrisi, khususnya pada pasien dengan pola makan terbatas atau dukungan sosial. Mereka menyarankan agar penyedia layanan kesehatan harus menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi terhadap kekurangan vitamin C, terutama pada pasien dengan faktor risiko seperti kerawanan pangan, merokok, atau pola makan yang membatasi. Kasus ini juga menyoroti perlunya pendekatan holistik terhadap perawatan pasien, dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi yang mungkin berdampak pada kesehatan.
Pendanaan & Pengungkapan
Makalah ini tidak menyebutkan sumber pendanaan khusus untuk laporan kasus ini. Para penulis menyatakan tidak ada kepentingan bersaing terkait dengan penelitian ini.