

(Foto oleh PeopleImages.com – Yuri A di Shutterstock)
Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana senyuman bisa menular, menyebar dari satu orang ke orang lain seperti virus ceria? Sebuah studi baru yang menarik menyoroti fenomena ini, mengungkapkan bahwa seberapa banyak kita tersenyum selama percakapan sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak orang lain tersenyum. Penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan di Jepang ini memberikan bukti kuat atas pepatah kuno, “Tersenyumlah dan dunia akan tersenyum bersamamu.”
Diterbitkan di Perbatasan dalam Ilmu Saraf Perilakupenelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak senyuman seseorang terhadap orang lain selama percakapan tatap muka. Para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Kesehatan Fujita bertujuan untuk memahami sejauh mana perilaku tersenyum kita dipengaruhi oleh senyuman orang yang kita ajak bicara.
Untuk menyelidiki hal ini, para peneliti merekrut 40 partisipan, yang terbagi rata antara pria dan wanita, dengan usia rata-rata sekitar 26 tahun. Para peserta ini terlibat dalam percakapan tiga menit dengan pendengar dalam tiga kondisi berbeda. Dalam setiap kondisi, pendengar diinstruksikan untuk mengontrol respons senyuman mereka, mulai dari jumlah senyuman “lebih sedikit” hingga “sedang” hingga “lebih banyak”.


Dengan menggunakan perangkat lunak analisis ekspresi wajah yang canggih, para peneliti dapat mengukur jumlah senyuman yang dilakukan oleh pembicara dan pendengar selama percakapan tersebut. Teknologi ini memungkinkan mereka mengukur tidak hanya frekuensi senyuman, namun juga intensitasnya, sehingga memberikan gambaran komprehensif tentang perilaku tersenyum.
Penulis penelitian menemukan bahwa ketika pendengar lebih banyak tersenyum, pembicara cenderung membalasnya dengan lebih banyak senyuman. Efek ini terutama terlihat ketika pembicara dan pendengar berjenis kelamin sama. Dengan kata lain, pria yang berbicara dengan pria dan wanita yang berbicara dengan wanita menunjukkan cerminan senyuman yang paling kuat.
Menariknya, penelitian ini juga menemukan bahwa perasaan ramah pembicara terhadap pendengar dan kenikmatan percakapan mereka meningkat dalam kondisi dimana pendengar lebih sering tersenyum. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak hanya cenderung meniru senyuman orang lain, namun senyuman tersebut benar-benar memengaruhi pengalaman emosional kita dalam interaksi tersebut.


Tapi bagaimana dengan waktu senyuman ini? Para peneliti menggali lebih dalam dan menemukan bahwa senyuman pembicara dan pendengar sering kali sinkron, dan terjadi pada waktu yang sama selama percakapan. Sinkronisasi ini terjadi pada semua pasangan gender, menyoroti sifat otomatis dan timbal balik dari senyuman selama interaksi sosial.
Temuan-temuan ini memiliki implikasi yang lebih dari sekadar percakapan santai. Memahami sifat senyuman yang menular dapat bermanfaat dalam berbagai bidang, mulai dari meningkatkan interaksi layanan pelanggan hingga meningkatkan hubungan terapeutik. Selain itu, para peneliti berpendapat bahwa mengukur interaksi tersenyum berpotensi menjadi indikator gangguan kognitif atau disfungsi psikologis, seperti pada individu dengan demensia yang sering kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal.
“Jika seseorang lebih banyak tersenyum selama percakapan, orang lain juga akan lebih banyak tersenyum, yang dapat mengarah pada hubungan interpersonal yang lebih baik satu sama lain,” kata ketua peneliti Profesor Yohei Otaka dari Departemen Kedokteran Rehabilitasi, dalam sebuah pernyataan.
Meskipun penelitian ini memberikan bukti kuat tentang sifat senyuman yang menular, penting untuk dicatat bahwa perilaku tersenyum dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Norma budaya, konteks sosial, dan ciri kepribadian individu semuanya berperan dalam cara kita mengekspresikan dan merespons senyuman. Para peneliti mengakui bahwa penelitian mereka, yang dilakukan di Jepang, mungkin mencerminkan pengaruh budaya tertentu terhadap perilaku tersenyum.
Jadi lain kali Anda bercakap-cakap, ingatlah bahwa senyuman Anda mungkin tidak hanya menunjukkan kebahagiaan Anda sendiri – senyuman Anda juga bisa memicu reaksi berantai yang positif. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian ini, dalam hal senyuman, memberi sebenarnya berarti menerima.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menggunakan pengaturan cerdas untuk mengukur senyuman selama percakapan. Mereka meminta 40 orang (20 laki-laki dan 20 perempuan) mengobrol selama tiga menit dengan pendengar laki-laki atau perempuan. Pendengar diminta untuk tersenyum dalam jumlah yang berbeda-beda di setiap obrolan – lebih sedikit, dalam jumlah sedang, atau lebih. Mereka menggunakan perangkat lunak khusus untuk menganalisis video percakapan dan mengukur seberapa banyak setiap orang tersenyum. Perangkat lunak ini dapat mendeteksi perubahan kecil pada ekspresi wajah dan memberikan skor dari 0 (tidak tersenyum) hingga 1 (senyum terbesar) untuk setiap momen percakapan.
Hasil
Studi tersebut menemukan bahwa ketika pendengar lebih banyak tersenyum, pembicara juga lebih banyak tersenyum. Hal ini terutama berlaku jika pembicara dan pendengarnya berjenis kelamin sama. Para peneliti juga menemukan bahwa senyuman seseorang sering terjadi pada saat yang bersamaan, hal ini menunjukkan bahwa senyuman itu menular. Menariknya, pembicara mengatakan mereka merasa percakapan menjadi lebih bersahabat dan menyenangkan ketika pendengar lebih banyak tersenyum.
Keterbatasan
Ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini. Pertama, mereka hanya memiliki satu pendengar laki-laki dan satu perempuan, jadi hal-hal seperti penampilan atau usia mereka mungkin memengaruhi cara orang merespons mereka. Selain itu, mereka tidak mengontrol hal-hal seperti kepribadian atau preferensi seksual, yang dapat memengaruhi senyuman. Penelitian ini dilakukan di Jepang, sehingga hasilnya mungkin berbeda di budaya lain. Terakhir, dengan hanya 40 peserta yang dibagi ke dalam kelompok yang lebih kecil, ukuran sampelnya relatif kecil, terutama untuk melihat perbedaan gender.
Diskusi dan Kesimpulan
Para peneliti berpendapat hasil ini menunjukkan bagaimana senyuman membantu membangun ikatan sosial. Ketika kita tersenyum pada seseorang dan mereka membalas senyumannya, itu membuat kita berdua merasa senang dan ingin terus berinteraksi. Ini penting untuk memahami bagaimana orang membentuk hubungan. Studi ini juga menunjukkan bahwa melihat bagaimana orang tersenyum selama percakapan berpotensi membantu mengidentifikasi masalah kognitif atau psikologis, seperti pada penderita demensia. Namun, para peneliti mencatat bahwa tidak semua senyuman itu sama – beberapa senyuman mungkin tidak asli atau bahkan memiliki arti negatif dalam konteks tertentu.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini didanai oleh hibah dari Masyarakat Jepang untuk Promosi Sains. Para peneliti menyatakan tidak ada konflik kepentingan, yang berarti mereka tidak memiliki hubungan finansial atau pribadi yang dapat mempengaruhi penelitian mereka secara tidak tepat.