BOSTON — Selama bertahun-tahun, keluarga pasien cedera otak bersikeras bahwa orang terkasih mereka yang tidak responsif masih “di dalam sana.” Kini, sebuah studi inovatif tentang kesadaran menunjukkan bahwa mereka mungkin benar selama ini.
Para peneliti telah menemukan bahwa sekitar satu dari empat pasien yang tampak sama sekali tidak responsif mungkin sebenarnya sadar dan menyadari tetapi secara fisik tidak dapat menunjukkannya. Fenomena ini, yang dikenal sebagai disosiasi motorik kognitifmenantang asumsi lama tentang gangguan kesadaran dan dapat memiliki implikasi mendalam terhadap cara kita menilai dan merawat pasien cedera otak.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Jurnal Kedokteran New Englandmerupakan investigasi terbesar dan terlengkap tentang disosiasi motorik kognitif hingga saat ini. Sebuah tim peneliti internasional menggunakan pencitraan otak dan teknik elektrofisiologi canggih untuk mendeteksi tanda-tanda kesadaran pada pasien yang tampaknya sama sekali tidak responsif berdasarkan penilaian perilaku standar.
Temuan ini menunjukkan bahwa disosiasi motorik kognitif jauh lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini memiliki implikasi besar bagi perawatan klinis, pengambilan keputusan di akhir hayat, dan pemahaman mendasar kita tentang kesadaran itu sendiri.
Studi ini meneliti 353 pasien dewasa dengan gangguan kesadaran akibat berbagai jenis cedera otak. Kondisi ini ada dalam spektrum yang bervariasi, mulai dari koma (ketika pasien sama sekali tidak responsif dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran) hingga kondisi vegetatif (ketika pasien dapat membuka mata dan mengalami siklus tidur-bangun tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran) hingga kondisi kesadaran minimal (ketika pasien menunjukkan beberapa tanda kesadaran yang tidak konsisten tetapi dapat direproduksi).
Secara tradisional, dokter mengandalkan penilaian perilaku di tempat tidur untuk mendiagnosis tingkat kesadaran pasien. Namun, pendekatan ini mengasumsikan bahwa jika pasien tidak dapat menanggapi perintah atau rangsangan secara fisik, mereka pasti tidak sadar. Studi baru ini menantang asumsi ini, dengan mengungkap tanda-tanda kesadaran yang mungkin tidak terlihat dari luar.
Para peneliti menggunakan dua teknik utama untuk menyelidiki kesadaran tersembunyi:
- Pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI): Teknik ini mengukur aktivitas otak dengan mendeteksi perubahan aliran darah. Pasien diminta membayangkan sedang melakukan tugas tertentu, seperti bermain tenis atau menjelajahi rumah mereka, saat berada di pemindai. Jika area otak yang sesuai diaktifkan sebagai respons terhadap perintah ini, hal ini menunjukkan bahwa pasien dapat memahami dan mengikuti instruksi, meskipun mereka tidak dapat merespons secara fisik.
- Elektroensefalografi (EEG): Teknik ini mengukur aktivitas listrik di otak menggunakan elektroda yang dipasang di kulit kepala. Pasien diberi tugas mental yang serupa, dan pola gelombang otak mereka dianalisis untuk mengetahui tanda-tanda respons yang disengaja.
Yang mengejutkan, penelitian tersebut menemukan bahwa 25% pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda perilaku kesadaran menunjukkan aktivitas otak yang konsisten dengan kesadaran dan kemampuan untuk mengikuti perintah. Dengan kata lain, satu dari empat pasien yang tampak dalam keadaan vegetatif atau keadaan kesadaran minimal tanpa kemampuan mengikuti perintah sebenarnya sadar dan mampu memahami serta menanggapi instruksi secara mental.
“Beberapa pasien dengan cedera otak parah tampaknya tidak memproses dunia luar mereka. Namun, ketika mereka dinilai dengan teknik canggih seperti fMRI berbasis tugas dan EEG, kami dapat mendeteksi aktivitas otak yang menunjukkan sebaliknya,” kata penulis utama studi Yelena Bodien, PhD, dalam sebuah pernyataan.
Bodien adalah peneliti untuk Sistem Model Cedera Otak Traumatis Spaulding-Harvard dan Pusat Neuroteknologi dan Pemulihan Saraf Rumah Sakit Umum Massachusetts.
“Hasil ini memunculkan pertanyaan kritis dalam aspek etika, klinis, dan ilmiah – seperti bagaimana kita dapat memanfaatkan kapasitas kognitif yang tak terlihat itu untuk membangun sistem komunikasi dan mendorong pemulihan lebih lanjut?”
Studi ini juga menemukan bahwa disosiasi motorik kognitif lebih umum terjadi pada pasien yang lebih muda, mereka yang mengalami cedera otak traumatis, dan mereka yang dinilai kemudian setelah cedera awal mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa pasien dapat memulihkan kemampuan kognitif dari waktu ke waktu, meskipun mereka tetap tidak dapat berkomunikasi secara perilaku.
Menariknya, bahkan di antara pasien yang dapat mengikuti perintah secara perilaku, lebih dari 60% tidak menunjukkan respons pada uji pencitraan otak. Hal ini menyoroti sifat kesadaran yang kompleks dan keterbatasan metode deteksi saat ini.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan yang menantang tentang bagaimana kita mendiagnosis gangguan kesadaran, membuat keputusan di akhir hayat, dan mengalokasikan sumber daya untuk perawatan dan rehabilitasi jangka panjang. Temuan ini juga membuka jalan baru bagi terapi potensial yang bertujuan memulihkan komunikasi pada pasien ini.
Meskipun penelitian ini merupakan kemajuan yang signifikan, penulis memperingatkan bahwa teknik yang digunakan belum tersedia secara luas dan memerlukan penyempurnaan lebih lanjut sebelum dapat digunakan secara rutin dalam praktik klinis.
“Untuk melanjutkan kemajuan kami di bidang ini, kami perlu memvalidasi perangkat kami dan mengembangkan pendekatan untuk menilai pasien yang tidak responsif secara sistematis dan pragmatis sehingga pengujian lebih mudah diakses,” tambah Bodien. “Kami tahu bahwa disosiasi motorik kognitif bukanlah hal yang jarang terjadi, tetapi sumber daya dan infrastruktur diperlukan untuk mengoptimalkan deteksi kondisi ini dan memberikan dukungan yang memadai kepada pasien dan keluarga mereka.”
Seiring dengan terus berkembangnya penelitian ini, penelitian ini menjanjikan akan menyuarakan mereka yang tidak bersuara dan memberi harapan bagi keluarga yang berjuang menghadapi dampak cedera otak parah. Ini adalah pengingat kuat tentang seberapa banyak yang masih harus kita pelajari tentang otak manusia dan hakikat kesadaran.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menggunakan alat penilaian perilaku standar yang disebut Coma Recovery Scale-Revised (CRS-R) untuk mengkategorikan tingkat kesadaran pasien berdasarkan respons yang dapat diamati. Mereka kemudian menggunakan fMRI dan EEG untuk mencari tanda-tanda kesadaran yang tersembunyi. Dalam uji fMRI, pasien diminta untuk membayangkan melakukan aktivitas tertentu, seperti bermain tenis. Jika area otak yang terkait dengan aktivitas tersebut menyala, itu menunjukkan pasien mengikuti perintah secara mental.
Untuk EEG, pasien diberi tugas mental yang serupa, dan pola gelombang otak mereka dianalisis untuk mengetahui tanda-tanda respons yang disengaja. Para peneliti membandingkan hasil uji berbasis otak ini dengan penilaian perilaku untuk mengidentifikasi kasus disosiasi motorik kognitif.
Rincian Hasil
Dari 241 pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda perilaku mengikuti perintah, 60 (25%) menunjukkan kemampuan mengikuti perintah baik pada fMRI maupun EEG. Kelompok ini dianggap mengalami disosiasi motorik kognitif. Pasien-pasien ini cenderung lebih muda, lebih mungkin mengalami cedera otak traumatis, dan dinilai lebih lambat setelah cedera awal dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami disosiasi motorik kognitif. Menariknya, di antara 112 pasien yang dapat mengikuti perintah secara perilaku, hanya 43 (38%) yang menunjukkan respons pada fMRI atau EEG, yang menyoroti kompleksitas deteksi kesadaran.
Keterbatasan Studi
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Sampel pasien tidak sepenuhnya representatif, karena mencakup banyak pasien kronis yang selamat dari cedera awal dan memiliki akses ke fasilitas pencitraan canggih. Hal ini dapat menyebabkan perkiraan yang berlebihan terhadap prevalensi disosiasi motorik kognitif. Metode untuk memperoleh dan menganalisis data bervariasi di berbagai lokasi penelitian, yang dapat memengaruhi hasil. Selain itu, penelitian ini bersifat deskriptif dan tidak dapat menentukan hubungan kausal antara faktor-faktor seperti usia atau waktu sejak cedera dan keberadaan disosiasi motorik kognitif.
Diskusi & Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa disosiasi motorik kognitif lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya, terjadi pada sekitar satu dari empat pasien yang tampak tidak responsif. Hal ini memiliki implikasi signifikan terhadap perawatan klinis, pengambilan keputusan etis, dan pemahaman kita tentang kesadaran.
Temuan ini menyoroti perlunya alat penilaian kesadaran yang lebih canggih dalam praktik klinis dan menunjukkan bahwa beberapa pasien dapat mempertahankan atau memulihkan kemampuan kognitif dari waktu ke waktu, bahkan tanpa menunjukkan peningkatan perilaku. Penelitian ini juga menggarisbawahi sifat kesadaran yang kompleks dan keterbatasan metode deteksi saat ini.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini terutama didanai oleh James S. McDonnell Foundation, dengan dukungan tambahan dari berbagai organisasi penelitian nasional dan internasional. Para penulis tidak mengungkapkan adanya konflik kepentingan yang relevan. Perlu dicatat bahwa meskipun beberapa peralatan pencitraan otak yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh perusahaan swasta, perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki peran dalam desain penelitian, pengumpulan data, analisis, atau pelaporan hasil.