

Sebuah studi baru menganalisis rambut yang tertanam di gigi rusak dua singa “pemakan manusia” yang menewaskan sedikitnya 28 orang pada tahun 1898 di wilayah Tsavo, Kenya. (Hak cipta foto Michael Jeffords dan Susan Post)
JUARA, Sakit.— Dalam sebuah kisah yang terdengar seperti film horor, dua singa jantan besar dan tak berperawakan meneror kamp pembangun jembatan di Kenya lebih dari seabad yang lalu. Para “pemakan manusia” Tsavo yang terkenal ini membunuh sedikitnya 28 orang sebelum ditembak mati oleh Letkol John Henry Patterson pada tahun 1898. Kini, berkat kerja detektif ilmiah yang cerdik, kita bisa melihat sekilas apa yang dimakan singa-singa ini. — termasuk korban manusianya.
Ceritanya dimulai pada tahun 1898 ketika kedua singa tersebut memulai teror mereka, merayap ke dalam kamp pada malam hari dan menyeret korbannya. Setelah Patterson mengakhiri amukan mereka, dia menjual sisa-sisa mereka ke Field Museum of Natural History di Chicago pada tahun 1925.
Kembali ke awal tahun 1990-an, ketika Thomas Gnoske, manajer koleksi di Field Museum, membuat penemuan menarik saat memeriksa tengkorak singa di gudang. Ia memperhatikan ribuan helai rambut patah dan padat tersangkut di rongga gigi singa yang rusak. Temuan ini memicu serangkaian penyelidikan yang berpuncak pada penelitian inovatif yang baru-baru ini diterbitkan dalam jurnal Biologi Saat Ini.


Jadi, bagaimana Anda mengetahui apa yang dimakan singa lebih dari satu abad yang lalu? Ternyata Anda bisa belajar banyak dari sehelai rambut. Tim peneliti, yang terdiri dari ilmuwan dari Field Museum, Universitas Illinois Urbana-Champaign, Museum Nasional Kenya, dan Universitas Nairobi, menggunakan kombinasi mikroskop dan teknik genomik mutakhir untuk menganalisis rambut yang ditemukan di gigi singa.
Alida de Flamingh, peneliti postdoctoral di University of Illinois, memimpin penyelidikan genom. Dia dan timnya fokus pada DNA mitokondria (mtDNA) dari fragmen rambut. mtDNA diturunkan dari ibu ke anak dan dapat digunakan untuk melacak garis keturunan ibu sepanjang waktu.
“Untuk memastikan keaslian sampel yang kami analisis, kami melihat apakah DNA tersebut memiliki pola yang biasanya ditemukan pada DNA purba,” jelas de Flamingh dalam rilis media.
Tim membangun database profil mtDNA dari spesies mangsa potensial, dan membandingkannya dengan DNA yang mereka ekstrak dari rambut. Hal ini memungkinkan mereka mengidentifikasi apa yang telah dimakan singa.


Hasilnya terbaca seperti menu safari: jerapah, oryx, waterbuck, rusa kutub, zebra, dan ya, manusia. Kehadiran DNA manusia menegaskan reputasi singa sebagai pemakan manusia, meskipun para peneliti memperlakukan informasi ini dengan sensitif, mengingat bahwa mungkin ada keturunan dari korban yang masih tinggal di wilayah tersebut hingga saat ini.
Beberapa temuan tidak terduga. Misalnya, tim menemukan DNA rusa kutub, meskipun populasi rusa kutub terdekat saat itu berjarak sekitar 50 mil. Hal ini menunjukkan bahwa singa mungkin telah berkeliaran lebih jauh dari perkiraan sebelumnya.
Menariknya, hampir tidak ada jejak DNA kerbau, hal ini mengejutkan mengingat kerbau adalah mangsa yang disukai singa di Tsavo saat ini.
“Kolonel Patterson menyimpan jurnal lapangan tulisan tangan selama berada di Tsavo. Namun dia tidak pernah mencatat melihat kerbau atau sapi asli dalam jurnalnya,” kata Julian Kerbis Peterhans, seorang profesor di Universitas Roosevelt dan asisten kurator di Field Museum.
Alasannya? Wabah ternak yang mematikan yang disebut rinderpest melanda wilayah tersebut pada tahun 1880-an dan memusnahkan sebagian besar populasi kerbau.


Analisis DNA juga menjelaskan tentang singa itu sendiri. Kedua pemakan manusia tersebut memiliki DNA ibu yang sama, sehingga mendukung teori bahwa mereka bersaudara. DNA mereka juga konsisten dengan asal usulnya di Kenya atau Tanzania.
Penelitian ini lebih dari sekedar pengamatan menarik terhadap dua singa terkenal. Ini menunjukkan bagaimana teknik DNA canggih dapat membantu kita mengintip ke masa lalu.
“Sekarang kami tahu bahwa kami dapat merekonstruksi genom mitokondria lengkap dari potongan rambut tunggal singa yang berusia lebih dari 100 tahun,” kata de Flamingh.
Dengan ribuan bulu yang tertanam di gigi singa, analisis lebih lanjut berpotensi merekonstruksi pola makan singa dari waktu ke waktu dan bahkan mungkin menentukan kapan mereka mulai memangsa manusia.
Penelitian ini, yang didukung oleh National Science Foundation dan Departemen Pertanian AS, membuka kemungkinan baru untuk mempelajari spesimen purba. Ini merupakan pengingat bahwa bahkan setelah lebih dari satu abad, masih ada hal-hal baru yang dapat dipelajari dari tulang-tulang tua – atau dalam hal ini, gigi tua.
Jadi, lain kali Anda mengunjungi museum sejarah alam, ingatlah: spesimen tua yang berdebu itu mungkin menyembunyikan rahasia yang menunggu untuk diungkap dengan teknik ilmiah terkini. Siapa yang tahu misteri masa lalu apa lagi yang mungkin kita pecahkan di masa depan?
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menganalisis rambut yang ditemukan pada patah gigi dua singa, yang dikenal sebagai “pemakan manusia Tsavo”, yang hidup di Kenya pada tahun 1890-an. Dengan menggunakan teknik ekstraksi DNA, mereka mampu mengurutkan DNA dari rambut yang dipadatkan di gigi singa. Para peneliti kemudian membandingkan DNA ini dengan database spesies mangsa potensial. Melalui proses ini, mereka mengidentifikasi beberapa hewan yang dimakan singa, termasuk jerapah, manusia, kijang, waterbucks, rusa kutub, dan zebra. Metode analisis DNA purba dari rambut ini mirip dengan teknik yang digunakan dalam ilmu forensik dan penelitian satwa liar, sehingga memungkinkan para ilmuwan mempelajari pola makan singa lama setelah kematian mereka.
Hasil Utama
Penelitian mengungkapkan bahwa singa telah memakan berbagai macam hewan, termasuk jerapah, zebra, dan bahkan manusia. DNA dari rambut tersebut cocok dengan enam spesies mangsa utama: jerapah, manusia, kijang, waterbuck, rusa kutub, dan zebra. Para peneliti juga menemukan beberapa bulu singa di giginya, yang bisa berarti singa-singa tersebut sedang merawat diri sendiri atau satu sama lain. Menariknya, penelitian tersebut menunjukkan bahwa singa kemungkinan besar melakukan perjalanan jarak jauh untuk mencari makanan, dan mereka telah memakan setidaknya dua jerapah, yang menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa yang lebih besar.
Keterbatasan Studi
Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah para peneliti tidak dapat menganalisis semua DNA dari setiap spesies yang mungkin dimakan singa karena sampel rambutnya telah terdegradasi. Selain itu, meskipun mereka mengidentifikasi beberapa spesies mangsa, ada beberapa spesies, seperti kerbau, yang tidak ditemukan dalam DNAnya, kemungkinan karena perubahan ekosistem lokal pada saat itu. Keterbatasan lainnya adalah penelitian ini mengandalkan catatan sejarah dan rentang spesies yang diketahui lebih dari satu abad yang lalu, yang mungkin tidak sepenuhnya mewakili lingkungan pada saat itu.
Diskusi & Kesimpulan
Studi ini menyoroti kebiasaan berburu singa Tsavo yang terkenal, yang pernah ditakuti karena menyerang manusia. Hal ini menunjukkan bahwa singa terutama berburu hewan liar, namun mereka juga memangsa manusia pada saat konflik manusia-satwa liar sedang tinggi. Penelitian ini menawarkan wawasan tentang bagaimana singa menyesuaikan pola makannya ketika ketersediaan mangsa berubah karena faktor-faktor seperti cedera atau perubahan lingkungan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini dapat diterapkan pada hewan purba lainnya untuk lebih memahami dinamika predator-mangsa di masa lalu.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini didukung oleh Departemen Pertanian AS, USAID, dan Universitas Illinois Urbana-Champaign. Para penulis telah menyatakan tidak ada kepentingan bersaing dalam penelitian ini.