

Sebuah tim rekan kerja menghibur seorang karyawan (Foto oleh fizkes di Shutterstock)
OSAKA, Jepang — Dalam lingkungan perusahaan yang serba cepat saat ini, beberapa individu memproses lingkungan sekitar mereka lebih dalam dibandingkan yang lain. Orang-orang ini, yang dikenal sebagai Orang yang Sangat Sensitif (HSP), mungkin merasa lebih terbiasa dengan perubahan halus di lingkungannya, mulai dari pencahayaan kantor hingga suasana hati rekan kerja. Meskipun sensitivitas yang meningkat ini dapat menimbulkan tantangan, penelitian baru menunjukkan bahwa hal ini juga dapat memberikan keuntungan unik di tempat kerja.
Studi yang dipublikasikan di Jurnal Psikologi Terapan Jepang mengeksplorasi bagaimana HSP menavigasi dunia usaha, khususnya memeriksa pengalaman mereka dengan stres dan empati. Dipimpin oleh peneliti Tomohiro Ioku dan Eiichiro Watamura dari Universitas Osaka, penyelidikan ini menyoroti karakteristik yang mempengaruhi sekitar 30% populasi namun masih banyak disalahpahami dalam lingkungan profesional.
Sensitivitas lingkungan, ciri inti HSP, bermanifestasi sebagai peningkatan respons terhadap rangsangan positif dan negatif. Berbeda dengan kondisi seperti gangguan spektrum autisme atau hipersensitivitas umum, sifat ini mewakili variasi normal pada tingkat sensitivitas manusia. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kepekaan lingkungan berkorelasi dengan ciri-ciri kepribadian seperti neurotisme dan keterbukaan, meskipun hubungan ini tidak cukup kuat untuk menganggapnya sebagai konstruksi yang sama.
Implikasi dari penelitian ini melampaui pengalaman individu. Di Jepang dan secara global, stres di tempat kerja telah menjadi penyebab utama keluarnya karyawan lebih awal, ketidakpuasan kerja, kelelahan emosional, penurunan produktivitas, dan dalam kasus yang parah, bunuh diri. Memahami bagaimana individu yang berbeda memproses stres di tempat kerja terbukti penting untuk mengembangkan strategi dukungan yang ditargetkan.


Penulis utama Tomohiro Ioku mencatat bahwa “sekitar 26% pekerja dewasa dapat diklasifikasikan sebagai HSP,” dan menekankan bahwa “sebagian besar tenaga kerja mungkin mengalami tingkat stres yang lebih tinggi.” Temuan ini menunjukkan bahwa organisasi mungkin perlu menilai kembali pendekatan mereka terhadap dukungan karyawan dan desain tempat kerja.
Tim peneliti melakukan survei online pada Februari 2022, mempelajari 270 pekerja Jepang di berbagai industri. Hasilnya menunjukkan pola yang menarik. Seperti yang diperkirakan, individu yang mendapat skor sensitivitas lebih tinggi dilaporkan mengalami lebih banyak stres di tempat kerja dan perasaan terasing. Namun, mereka juga menunjukkan tingkat empati yang jauh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekan mereka yang kurang sensitif. Temuan ini tetap konsisten bahkan setelah memperhitungkan ciri-ciri kepribadian optimis dan pesimis.
Penulis senior Eiichiro Watamura menekankan bahwa “meskipun HSP lebih rentan terhadap stres, tingkat empati mereka yang tinggi dapat menjadi aset berharga bagi organisasi, terutama dalam peran yang memerlukan keterampilan interpersonal yang kuat.” Pemahaman ini menunjukkan bahwa apa yang mungkin dipandang sebagai kerentanan sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan dalam konteks profesional tertentu.
Bagi organisasi, wawasan ini membawa implikasi signifikan terhadap desain dan manajemen tempat kerja. Sistem pendukung tradisional seperti program mentoring mungkin gagal jika tidak memperhitungkan beragam kebutuhan karyawan, khususnya HSP. Menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung dapat meningkatkan retensi karyawan dan kesejahteraan tempat kerja secara keseluruhan.
Jadi, jika nanti Anda melihat seorang rekan kerja yang tampaknya sangat terpengaruh oleh lingkungan kantor atau sangat peka terhadap emosi orang lain, ingatlah – mereka mungkin hanya membawa perspektif yang unik dan berharga ke tempat kerja. Lagi pula, di era di mana kecerdasan emosional dan keterampilan antarpribadi semakin dihargai, sifat sensitif yang tinggi bisa menjadi kekuatan super dibandingkan kelemahan.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menggunakan metodologi survei online yang komprehensif melalui Yahoo Crowdsourcing di Jepang. Analisis akhir melibatkan 270 peserta, yang mewakili berbagai industri dan peran pekerjaan. Peserta menyelesaikan beberapa alat penilaian yang divalidasi, termasuk HSPS versi 10 item, ukuran persepsi stres, keterasingan, dan empati, ditambah penilaian optimisme dan pesimisme.
Hasil
Analisis statistik menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara skor HSPS dan ukuran persepsi stres (r=0,47), keterasingan (r=0,41), dan empati (r=0,39). Korelasi ini tetap signifikan bahkan setelah mengendalikan optimisme dan pesimisme. Analisis kelas laten mengidentifikasi tiga kelompok sensitivitas yang berbeda: sensitivitas rendah (23,70%), sedang (50,37%), dan tinggi (25,92%).
Keterbatasan
Penelitian ini menghadapi beberapa kendala. Pertama, pendekatan ini mengandalkan data yang dilaporkan sendiri, yang dapat menimbulkan berbagai bias. Kedua, sampelnya terbatas pada pekerja Jepang, sehingga berpotensi mempengaruhi generalisasi pada konteks budaya lain. Ketiga, sifat korelasional dari penelitian ini menghalangi penarikan kesimpulan kausal yang pasti. Keempat, penelitian ini tidak menguji potensi dampak moderasi dari lingkungan tempat kerja atau sistem pendukung organisasi.
Diskusi dan Kesimpulan
Penelitian ini meningkatkan pemahaman kita tentang HSP dalam konteks profesional sekaligus menyoroti tantangan dan peluang. Temuan ini menunjukkan bahwa organisasi mungkin mendapat manfaat dari pengembangan sistem dukungan yang ditargetkan untuk HSP sambil memanfaatkan peningkatan empati mereka dalam peran yang sesuai. Para peneliti menganjurkan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi atribut positif HSP dalam lingkungan profesional, terutama mengingat kekhawatiran mendesak Jepang mengenai pergantian dini di kalangan profesional muda.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Manusia dan Pusat Pendidikan dan Pertukaran Internasional Universitas Osaka. Penelitian ini mendapat persetujuan dari Komite Etika Penelitian Perilaku Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Manusia Universitas Osaka (nomor persetujuan R3-028). Tidak ada sumber pendanaan spesifik atau konflik kepentingan yang diungkapkan dalam makalah ini.