
(Foto oleh LightField Studios di Shutterstock)
CORVALLIS, Oregon — Merasa kesepian tidak hanya dapat merusak suasana hati Anda – tetapi juga dapat mengganggu tidur Anda dengan cara yang menakutkan. Sebuah studi baru menemukan bahwa orang yang mengalami lebih banyak kesepian cenderung mengalami mimpi buruk yang lebih sering dan intens.
Para peneliti dari beberapa universitas di AS meneliti hubungan antara kesepian dan mimpi buruk dalam dua studi terpisah yang melibatkan lebih dari 1.600 peserta. Temuan mereka, yang dipublikasikan di Jurnal Psikologi, mengungkapkan bahwa kesepian merupakan prediktor signifikan seberapa sering orang mengalami mimpi buruk dan seberapa mengganggu mimpi buruk tersebut.
Sekitar 18% orang melaporkan mengalami mimpi buruk secara teratur. Bagi sebagian orang, mimpi buruk bisa sangat parah dan sering terjadi sehingga tergolong gangguan tidur klinis.
Para peneliti tertarik untuk menyelidiki kemungkinan alasan mengapa kesepian dapat menyebabkan lebih banyak mimpi buruk. Mereka menggunakan teori yang disebut teori evolusi kesepianyang mengusulkan bahwa perasaan kesepian berevolusi sebagai semacam sistem peringatan untuk memperingatkan kita saat hubungan sosial kita kurang. Sama seperti rasa sakit fisik yang memotivasi kita untuk mengatasi cedera, rasa sakit psikologis akibat kesepian dapat memotivasi kita untuk mencari ikatan sosial yang penting untuk bertahan hidup.


“Hubungan antarpribadi merupakan kebutuhan inti manusia,” jelas Colin Hesse, direktur Sekolah Komunikasi di Oregon State University, dalam sebuah pernyataan. “Ketika kebutuhan seseorang akan hubungan yang kuat tidak terpenuhi, mereka akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Sama seperti rasa lapar atau lelah yang berarti Anda tidak mendapatkan cukup kalori atau tidur, rasa kesepian telah berevolusi untuk memberi tahu individu ketika kebutuhan mereka akan hubungan antarpribadi tidak terpenuhi.”
Apa hubungan antara kesepian dan mimpi buruk?
Studi yang mensurvei lebih dari 1.600 orang dewasa AS berusia 18 hingga 81 tahun itu menemukan bahwa orang yang kesepian melaporkan mimpi buruk yang lebih sering dan mengganggu. Namun, apa yang mendorong siksaan nokturnal ini? Para peneliti mengidentifikasi tiga faktor utama: stres, perenungan (kekhawatiran terus-menerus), dan hiperarousal (keadaan kewaspadaan yang meningkat).
Memang, penelitian tersebut menemukan bahwa hiperarousal dan perenungan membantu menjelaskan hubungan antara kesepian dan mimpi buruk. Orang yang kesepian cenderung mengalami lebih banyak kondisi mental ini, yang pada gilirannya dikaitkan dengan mimpi buruk yang lebih sering dan intens.
Menariknya, meskipun stres terbukti berperan dalam studi pertama, stres tidak muncul sebagai faktor signifikan saat diteliti bersamaan dengan hiperarousal dan perenungan dalam studi kedua. Para peneliti berpendapat bahwa ini bisa berarti bahwa hiperarousal dan perenungan mungkin merupakan manifestasi stres yang lebih spesifik yang khususnya relevan dengan pengalaman mimpi buruk.
Keadaan mental ini, yang semuanya terkait dengan kesepian, tampaknya menjadi jembatan yang menghubungkan keterasingan kita saat terjaga dengan tekanan dunia mimpi. Seolah-olah kesepian memicu sistem alarm internal, yang membuat pikiran kita tetap waspada bahkan saat kita tidur – kewaspadaan yang terwujud dalam mimpi yang jelas dan sering kali menakutkan.
Apakah tubuh Anda memberi tahu Anda tentang kebutuhan yang belum terpenuhi?
Implikasi dari penelitian ini jauh melampaui malam-malam yang gelisah. Kesepian dan gangguan tidur merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, yang terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, dan kematian dini. Dokter Umum AS melaporkan bahwa bahkan sebelum pandemi COVID-19, sekitar setengah dari orang dewasa Amerika mengalami tingkat kesepian yang terukur. Risiko kesehatan yang terkait dengan kurangnya koneksi sosial sangat mengejutkan – sebanding dengan merokok dalam hal meningkatkan risiko kematian dini.
Studi ini menawarkan perspektif baru tentang mimpi buruk, membingkainya bukan hanya sebagai produk trauma atau kecemasan individu, tetapi sebagai respons evolusioner potensial terhadap isolasi sosial. Ini adalah pengingat bahwa kebutuhan kita akan hubungan antarmanusia bukan hanya masalah pemenuhan emosi – itu merupakan bagian integral dari kesejahteraan fisik dan mental kita, memengaruhi kita bahkan dalam keadaan ketidaksadaran kita yang paling rentan.
Meskipun masih terlalu dini untuk meresepkan intervensi khusus, penelitian ini membuka kemungkinan yang menarik. Mungkinkah mengobati kesepian menjadi kunci untuk menenangkan iblis yang menghantui mimpi kita? Saat kita bernavigasi di dunia yang semakin digital dan sering kali terisolasi, memahami dampak mendalam dari kesepian menjadi semakin penting.
Jadi lain kali Anda merasa gelisah dan gelisah setelah mengalami mimpi buruk yang sangat jelas, pertimbangkan untuk menghubungi teman, bergabung dengan kelompok masyarakat, atau sekadar terlibat dalam interaksi sosial yang lebih bermakna. Mimpi Anda – dan kesehatan Anda – mungkin akan berterima kasih karenanya.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti melakukan dua studi terpisah yang melibatkan lebih dari 1.600 orang dewasa AS. Peserta menyelesaikan kuesioner yang telah ditetapkan untuk mengukur kesepian, frekuensi dan intensitas mimpi buruk, stres, perenungan, dan hiperarousal. Analisis statistik kemudian dilakukan untuk memeriksa hubungan antara variabel-variabel ini.
Hasil
Studi tersebut menemukan hubungan yang signifikan antara kesepian dan frekuensi serta intensitas mimpi buruk. Stres, perenungan, dan hiperarousal diidentifikasi sebagai faktor yang memediasi hubungan ini, yang membantu menjelaskan bagaimana kesepian dapat menyebabkan mimpi yang lebih mengganggu.
Keterbatasan
Seperti yang ditegaskan Hesse, penelitian tersebut menunjukkan hubungan korelatif, bukan kausatif, antara kesepian dan mimpi buruk. Penelitian tersebut mengandalkan data yang dilaporkan sendiri dan terbatas pada orang dewasa AS, yang dapat memengaruhi generalisasinya ke populasi lain.
Diskusi dan Kesimpulan
Penelitian ini memberikan wawasan baru tentang dampak kesepian yang luas terhadap kesejahteraan, yang meluas hingga ke tidur dan mimpi kita. Penelitian ini mendukung aspek-aspek utama teori evolusi tentang kesepian dan menyarankan berbagai cara potensial untuk mengatasi gangguan tidur pada individu yang kesepian. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya hubungan sosial bagi kesehatan mental dan fisik.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini didukung oleh Flora Family Fund di Whitworth University. Tidak ada konflik kepentingan yang diungkapkan oleh para peneliti.