

(Kredit: CeltStudio/Shutterstock)
HANOVER, NH — Lagipula, manusia tidak cocok menjadi peramal. Sebuah studi baru menemukan bahwa orang lebih baik dalam menebak sesuatu yang tidak diketahui yang terjadi di masa lalu daripada memprediksi masa depan.
Cara terbaik untuk memikirkan hal ini adalah ketika seseorang menonton drama TV di tengah episode. Meski tidak mengetahui apa yang terjadi sebelumnya, peneliti psikologi menemukan bahwa orang lebih akurat menyimpulkan apa yang terjadi ketika mereka tidak menonton dibandingkan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Penelitian sebelumnya yang berfokus pada memprediksi masa lalu dan masa depan menemukan bahwa manusia pandai menebak. Namun, bidang penelitian ini sangat bergantung pada rangkaian angka, gambar, atau bentuk sederhana, bukan situasi kehidupan nyata.
“Peristiwa dalam kehidupan nyata memiliki asosiasi kompleks terkait waktu yang biasanya tidak tercakup dalam penelitian sebelumnya, jadi kami ingin mengeksplorasi bagaimana orang membuat kesimpulan dalam situasi yang lebih mengingatkan pada kehidupan sehari-hari,” kata rekan penulis studi Jeremy Manning, seorang profesor ilmu psikologi dan otak di Dartmouth College dan direktur Lab Dinamika Kontekstual, dalam rilis media. “Pengalaman kehidupan nyata, tidak seperti rangkaian abstrak, sering kali melibatkan orang lain.”
Skenario khas kehidupan nyata adalah menonton televisi, yang tidak selalu ditonton orang dari awal sampai akhir. Dalam percobaan yang dipublikasikan di Komunikasi Alampara peneliti meminta peserta menonton beberapa adegan dari dua pertunjukan: Mengapa Wanita Membunuh Dan Kursi. Setelahnya, peserta diminta menebak apa yang terjadi sebelum adegan tersebut atau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Orang-orang melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam menyatukan apa yang terjadi sebelum adegan yang mereka tonton daripada memprediksi apa yang terjadi setelahnya. Petunjuk konteks dan referensi terhadap pengalaman masa lalu dan rencana masa depan dalam percakapan karakter membantu peserta merekonstruksi apa yang terjadi sebelumnya dalam pertunjukan. Para peneliti mencatat bahwa kedua pertunjukan tersebut sangat bergantung pada dialog tentang masa lalu, sehingga para peserta memiliki lebih banyak petunjuk untuk membuat tebakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya dibandingkan peristiwa-peristiwa di masa depan.
Untuk melihat apakah pola pembicaraan ini – lebih banyak membicarakan masa lalu dibandingkan masa depan – terjadi dalam situasi lain, tim juga mempelajari komunikasi dalam novel, film, acara televisi, dan bentuk media lainnya. Hasilnya serupa di semua bentuk media. Orang-orang fiksi dan nyata lebih suka berbicara tentang masa lalu daripada masa depan.
“Hasil kami menunjukkan bahwa rata-rata, orang berbicara satu setengah kali lebih banyak tentang masa lalu dibandingkan masa depan,” kata Manning. “Dan ini sepertinya menjadi tren umum dalam percakapan manusia.”
Menurut penulis, membicarakan masa lalu lebih mudah daripada membuat rencana masa depan karena terdapat kenangan akan kejadian masa lalu yang membantu membangun landasan karakter dan permasalahannya. Karakter di media berperilaku serupa agar terlihat lebih realistis dengan cara orang berbicara di kehidupan nyata.
Mengingat masa lalu tetapi tidak mengingat masa depan adalah fenomena yang dikenal sebagai panah psikologis waktu. Teori ini menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap waktu terus bergerak maju, memungkinkan mereka mengkategorikan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
“Fenomena ini juga mencerminkan bahwa seseorang mengetahui lebih banyak tentang masa lalunya dibandingkan masa depannya,” simpul Xinming Xu, seorang mahasiswa PhD di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak dan anggota Lab Dinamika Kontekstual di Dartmouth College. “Studi kami menunjukkan bahwa pengetahuan asimetris seseorang tentang kehidupannya sendiri dapat ditularkan kepada orang lain.”
Ringkasan Makalah
Metodologi
Studi ini menggunakan kombinasi eksperimen dan analisis data untuk memahami bagaimana orang menyimpulkan peristiwa yang tidak teramati di masa lalu dan masa depan. Peserta menonton segmen dari drama TV dan diminta memprediksi apa yang terjadi sebelum atau sesudah adegan yang mereka tonton. Mereka harus menebak apa yang mungkin terjadi tepat sebelum segmen tersebut (retrodiksi) atau memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya (prediksi).
Para peneliti menganalisis tanggapan ini menggunakan analisis teks dan pemrosesan bahasa alami untuk memahami apakah peserta lebih akurat dalam retrodiksi atau prediksi mereka. Penelitian ini juga menggunakan analisis data percakapan skala besar dari acara televisi, film, dan percakapan di kehidupan nyata untuk mengamati pola cara orang berbicara tentang masa lalu versus masa depan.
Hasil Utama
Studi tersebut menemukan bahwa orang pada umumnya lebih baik dalam menebak apa yang terjadi di masa lalu dibandingkan memprediksi masa depan. Peserta membuat retrodiksi yang lebih akurat dibandingkan prediksi saat menonton segmen acara TV. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hal ini terjadi karena karakter dalam acara tersebut lebih banyak berbicara tentang kejadian di masa lalu dibandingkan kejadian di masa depan, dan orang-orang menggunakan petunjuk percakapan tersebut untuk membuat tebakan. Pola ini juga diamati dalam analisis percakapan nyata berskala besar, di mana orang lebih sering menyebutkan masa lalu daripada masa depan.
Keterbatasan Studi
Meskipun penelitian ini memberikan wawasan menarik tentang cara kita berpikir tentang masa lalu dan masa depan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, eksperimen tersebut didasarkan pada acara TV, yang mungkin tidak mencerminkan situasi kehidupan nyata. Kedua, tebakan peserta didasarkan pada narasi fiksi, yang mungkin memengaruhi cara mereka membuat kesimpulan tentang suatu peristiwa. Selain itu, analisis percakapan berskala besar dalam penelitian ini didasarkan pada konten tertulis dari media, yang mungkin tidak sepenuhnya mewakili percakapan sehari-hari.
Diskusi & Kesimpulan
Studi ini mengungkapkan sebuah wawasan penting: orang lebih baik dalam menyimpulkan apa yang terjadi di masa lalu dibandingkan memprediksi kejadian di masa depan. Asimetri ini kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa percakapan, baik dalam kehidupan nyata maupun narasi fiksi, cenderung lebih berfokus pada masa lalu dibandingkan masa depan. Temuan ini dapat mempunyai implikasi untuk memahami bagaimana orang mengambil keputusan, mengingat kenangan, atau bahkan berinteraksi dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengandalkan pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi, yang bisa menjelaskan mengapa kita lebih baik dalam melakukan retrodiksi daripada prediksi. Memahami bias ini mungkin membantu dalam meningkatkan strategi komunikasi atau bercerita.
Pendanaan & Pengungkapan
Studi tersebut dilakukan oleh peneliti dari Dartmouth College, Peking University, dan Beijing Normal University. Para penulis tidak melaporkan adanya konflik kepentingan atau sumber pendanaan tertentu yang secara langsung mempengaruhi penelitian ini.