LONDON — Saat dunia bergulat dengan perubahan iklim dan bencana lingkungan, sebuah survei baru mengungkap perubahan yang mengejutkan dalam opini publik. Ternyata sebagian besar orang di seluruh dunia kini menginginkan hukuman pidana yang serius bagi mereka yang merusak planet ini.
Bayangkan jika merusak lingkungan diperlakukan seperti kejahatan serius, setara dengan pencurian atau penipuan. Ya, itulah yang diinginkan oleh 72% orang di 18 negara besar. Temuan yang mengejutkan ini berasal dari Global Commons Survey 2024, sebuah proyek penelitian besar yang mengukur denyut nadi opini publik di beberapa negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Jadi, apa sebenarnya maksudnya? Para peneliti berbicara tentang menjadikannya pelanggaran pidana bagi pejabat pemerintah atau eksekutif perusahaan yang memberikan lampu hijau untuk tindakan yang secara serius merusak alam atau iklim. Anggap saja itu seperti menempatkan Ibu Pertiwi di bawah perlindungan hukum.
“Dukungan mayoritas (72%) untuk mengkriminalisasi tindakan yang memungkinkan kerusakan serius pada iklim mengejutkan kami,” aku Owen Gaffney, yang membantu memimpin inisiatif bernama Earth4All, dalam rilis media.
Ini sinyal jelas bahwa masyarakat sudah muak dengan kerusakan lingkungan dan ingin melihat pertanggungjawaban nyata.
Jajak pendapat menunjukkan adanya gerakan yang berkembang
Ini bukan sekadar pemikiran yang muluk-muluk. Beberapa negara sudah mengambil langkah ke arah ini. Belgia, misalnya, baru-baru ini menjadikan “ekosida” sebagai kejahatan federal. Jika Anda bingung apa arti ekosida, anggap saja itu sebagai istilah keren untuk kerusakan lingkungan yang parah. Ini seperti genosida, tetapi untuk ekosistem, bukan manusia.
Belgia tidak sendirian. Prancis dan Chili telah mengesahkan undang-undang serupa, sementara negara-negara seperti Brasil, Italia, dan Belanda mempertimbangkan untuk ikut serta. Ini seperti efek domino dari undang-undang perlindungan lingkungan yang menyebar ke seluruh dunia.
Survei tersebut menggambarkan gambaran dunia yang sangat prihatin dengan keadaan planet kita dan berharap akan adanya perubahan. Berikut ini beberapa temuan utama yang mungkin membuat Anda heran:
- Hampir 6 dari 10 orang (59%) sangat khawatir dengan keadaan alam saat ini.
- Kelompok yang lebih besar lagi – 69% – berpikir kita sedang mendekati beberapa “titik kritis” yang menakutkan bagi iklim dan alam akibat aktivitas manusia. Titik kritis ini seperti titik lingkungan yang tidak bisa dikembalikan lagi, di mana kerusakan menjadi tidak dapat dipulihkan.
- Di sisi yang lebih cerah, 61% orang termasuk dalam kelompok yang sangat mendukung pengambilan tindakan untuk melindungi lingkungan.
“Orang-orang di mana-mana sangat khawatir tentang keadaan planet kita dan mereka sudah merasakan dampaknya,” kata Jane Madgwick, yang mengepalai Global Commons Alliance.
Namun, Madgwick juga melihat jalan ke depan, dengan menekankan perlunya “kepemimpinan yang berani dan upaya global yang sesungguhnya” untuk mengatasi tantangan ini.
Perempuan mendorong ketakutan terhadap iklim
Menariknya, survei tersebut menemukan bahwa wanita cenderung lebih peduli dengan isu lingkungan daripada pria. Mereka lebih khawatir tentang keadaan alam saat ini dan untuk generasi mendatang. Wanita juga cenderung tidak berpikir bahwa klaim tentang risiko lingkungan dibesar-besarkan atau bahwa teknologi saja dapat menyelesaikan masalah kita tanpa perubahan gaya hidup.
Survei tersebut juga mengungkap beberapa perbedaan mencolok antara negara maju dan negara berkembang. Orang-orang di negara-negara seperti India, Cina, dan Indonesia merasa jauh lebih rentan terhadap perubahan iklim dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Eropa dan Amerika Serikat.
Hal ini masuk akal jika Anda memikirkannya. Banyak negara berkembang berada di garis depan perubahan iklim, menghadapi bencana alam yang lebih sering dan parah, naiknya permukaan air laut, dan peristiwa cuaca ekstrem. Tidak mengherankan mereka merasakan panas (secara harfiah dan kiasan) lebih parah.
Apa arti semua ini bagi masa depan?
Jojo Mehta, yang memimpin organisasi bernama Stop Ecocide International, melihat hasil survei ini sebagai tanda momentum yang berkembang. Ia menunjukkan bahwa kita sudah melihat “perubahan kebijakan signifikan yang mendukung undang-undang tentang ekosida” di berbagai tingkat pemerintahan. Mehta yakin dorongan ini didorong oleh permintaan yang meluas dari masyarakat biasa.
“Orang-orang jelas memahami bahwa bentuk kerusakan lingkungan yang paling parah merugikan kita semua,” jelas Mehta.
Idenya adalah bahwa dengan membuat para pengambil keputusan utama bertanggung jawab secara pribadi atas kejahatan lingkungan, kita dapat mencegah kerusakan sebelum terjadi. Saat kita melihat ke masa depan, jelas bahwa gelombang opini publik sedang berubah di banyak negara.
Pertanyaannya sekarang adalah: akankah para pemimpin dan pembuat kebijakan di seluruh dunia mendengarkan dan mengambil tindakan?