Kami semakin menyadari bagaimana misinformasi dapat mempengaruhi pemilu. Sekitar 73% warga Amerika melaporkan melihat berita pemilu yang menyesatkan, dan sekitar setengahnya kesulitan membedakan mana yang benar atau salah.
Terkait misinformasi, “menjadi viral” tampaknya lebih dari sekadar slogan belaka. Para ilmuwan telah menemukan analogi yang erat antara penyebaran informasi yang salah dan penyebaran virus. Faktanya, cara penyebaran informasi yang salah dapat dijelaskan secara efektif menggunakan model matematika yang dirancang untuk mensimulasikan penyebaran patogen.
Kekhawatiran mengenai misinformasi masih banyak dirasakan, dan survei PBB baru-baru ini menunjukkan bahwa 85% orang di seluruh dunia mengkhawatirkan hal tersebut.
Kekhawatiran ini beralasan. Disinformasi asing semakin canggih dan luas sejak pemilu AS tahun 2016. Siklus pemilu tahun 2024 telah menyaksikan teori konspirasi berbahaya tentang “manipulasi cuaca” yang melemahkan pengelolaan badai, berita palsu tentang imigran yang memakan hewan peliharaan yang memicu kekerasan terhadap komunitas Haiti, dan teori konspirasi pemilu menyesatkan yang diperkuat oleh orang terkaya di dunia, Elon Musk.
Penelitian terbaru menggunakan model matematika yang diambil dari epidemiologi (studi tentang bagaimana penyakit muncul dalam suatu populasi dan alasannya). Model-model ini awalnya dikembangkan untuk mempelajari penyebaran virus, namun dapat digunakan secara efektif untuk mempelajari penyebaran misinformasi di jaringan sosial.
Salah satu model epidemiologi yang berfungsi untuk mengatasi misinformasi dikenal sebagai model rentan-menular-pulih (SIR). Ini mensimulasikan dinamika antara individu yang rentan (S), terinfeksi (I), dan pulih atau resisten (R).
Model-model ini dihasilkan dari serangkaian persamaan diferensial (yang membantu ahli matematika memahami tingkat perubahan) dan mudah diterapkan pada penyebaran misinformasi. Misalnya, di media sosial, informasi palsu disebarkan dari individu ke individu, beberapa di antaranya terinfeksi, beberapa di antaranya tetap kebal. Yang lainnya bertindak sebagai vektor tanpa gejala (pembawa penyakit), menyebarkan informasi yang salah tanpa mengetahui atau terkena dampak buruknya.
Model-model ini sangat berguna karena memungkinkan kita memprediksi dan menyimulasikan dinamika populasi dan menghasilkan ukuran seperti angka reproduksi dasar (R0) – jumlah rata-rata kasus yang dihasilkan oleh individu yang “terinfeksi”.
Hasilnya, terdapat peningkatan minat untuk menerapkan pendekatan epidemiologi terhadap ekosistem informasi kita. Sebagian besar platform media sosial memiliki perkiraan R0 lebih besar dari 1, yang menunjukkan bahwa platform tersebut berpotensi menyebarkan misinformasi seperti epidemi.
Mencari solusi
Pemodelan matematika biasanya melibatkan apa yang disebut penelitian fenomenologis (di mana peneliti mendeskripsikan pola yang diamati) atau pekerjaan mekanistik (yang melibatkan pembuatan prediksi berdasarkan hubungan yang diketahui). Model-model ini sangat berguna karena memungkinkan kita mengeksplorasi kemungkinan intervensi yang dapat membantu mengurangi penyebaran misinformasi di jejaring sosial.
Kita dapat mengilustrasikan proses dasar ini dengan model ilustratif sederhana yang ditunjukkan pada grafik di bawah ini, yang memungkinkan kita mengeksplorasi bagaimana suatu sistem dapat berkembang berdasarkan berbagai asumsi hipotetis, yang kemudian dapat diverifikasi.
Tokoh-tokoh media sosial terkemuka dengan banyak pengikut dapat menjadi “penyebar super” disinformasi pemilu, menyebarkan kebohongan kepada ratusan juta orang. Hal ini mencerminkan situasi saat ini di mana para petugas pemilu melaporkan adanya ketidakcocokan dalam upaya mereka untuk memeriksa informasi yang tidak benar.
Dalam model kami, jika kami berasumsi secara konservatif bahwa orang hanya mempunyai peluang 10% untuk tertular setelah terpapar, maka membantah informasi yang salah hanya mempunyai dampak yang kecil, menurut penelitian. Dalam skenario kemungkinan tertular 10%, populasi yang tertular misinformasi pemilu tumbuh dengan cepat (garis oranye, panel kiri).
'Vaksinasi' psikologis
Analogi penyebaran virus untuk misinformasi sangat tepat karena memungkinkan para ilmuwan menyimulasikan cara untuk melawan penyebarannya. Intervensi ini mencakup pendekatan yang disebut “inokulasi psikologis”, yang juga dikenal sebagai prebunking.
Di sinilah para peneliti terlebih dahulu memperkenalkan, dan kemudian membantah, sebuah kebohongan sehingga masyarakat di masa depan mendapatkan kekebalan terhadap informasi yang salah. Hal ini mirip dengan vaksinasi, di mana orang diperkenalkan dengan dosis virus (yang dilemahkan) untuk memperkuat sistem kekebalan mereka terhadap paparan di masa depan.
Misalnya, sebuah penelitian baru-baru ini menggunakan chatbot AI untuk mengatasi mitos penipuan pemilu. Hal ini mencakup peringatan dini kepada masyarakat bahwa aktor-aktor politik mungkin memanipulasi opini mereka dengan cerita-cerita sensasional, seperti klaim palsu bahwa “pembuangan suara secara besar-besaran dalam semalam akan membalikkan hasil pemilu”, serta tips-tips penting tentang cara mengenali rumor-rumor yang menyesatkan tersebut. 'Inokulasi' ini dapat diintegrasikan ke dalam model populasi dalam penyebaran informasi yang salah.
Anda dapat melihat dalam grafik kami bahwa jika prebunking tidak dilakukan, dibutuhkan waktu lebih lama bagi masyarakat untuk membangun kekebalan terhadap misinformasi (panel kiri, garis oranye). Panel kanan menggambarkan bagaimana, jika prebunking diterapkan dalam skala besar, hal ini dapat menampung jumlah orang yang mendapat informasi yang salah (garis oranye).
Tujuan dari model ini bukanlah untuk membuat masalah tersebut terdengar menakutkan atau menunjukkan bahwa manusia adalah vektor penyakit yang mudah tertipu. Namun terdapat bukti jelas bahwa beberapa berita palsu memang menyebar seperti penyakit menular, dan langsung menginfeksi pengguna.
Sementara itu, berita-berita lain cenderung bersifat penularan yang kompleks, yaitu orang-orang harus berulang kali terpapar sumber informasi yang menyesatkan sebelum mereka “tertular”.
Fakta bahwa kerentanan individu terhadap misinformasi bisa berbeda-beda tidak mengurangi kegunaan pendekatan yang diambil dari epidemiologi. Misalnya saja, model-model yang ada dapat disesuaikan berdasarkan seberapa keras atau sulitnya misinformasi “menular” pada sub-populasi yang berbeda.
Meskipun memikirkan orang-orang dengan cara seperti ini mungkin secara psikologis tidak nyaman bagi sebagian orang, sebagian besar misinformasi disebarkan oleh sejumlah kecil penyebar super yang berpengaruh, seperti yang terjadi pada virus.
Mengambil pendekatan epidemiologis terhadap studi berita palsu memungkinkan kita memprediksi penyebarannya dan membuat model efektivitas intervensi seperti prebunking.
Beberapa penelitian terbaru memvalidasi pendekatan viral dengan menggunakan dinamika media sosial dari pemilihan presiden AS tahun 2020. Studi ini menemukan bahwa kombinasi intervensi bisa efektif dalam mengurangi penyebaran misinformasi.
Model tidak pernah sempurna. Namun jika kita ingin menghentikan penyebaran informasi yang salah, kita perlu memahaminya agar dapat secara efektif melawan dampak buruknya terhadap masyarakat.