

(Kredit: © Robert Byron | Dreamstime.com)
COLUMBUS, Ohio — Jika nanti Anda berada dalam perdebatan sengit dan benar-benar yakin akan posisi Anda, pertimbangkan hal ini: para peneliti telah menemukan bahwa semakin Anda yakin dengan pendirian Anda, semakin besar kemungkinan Anda bekerja dengan informasi yang tidak lengkap. Ini adalah sebuah kekhasan psikologis yang mungkin menjelaskan segalanya, mulai dari perselisihan keluarga hingga konflik internasional.
Kita semua pernah mengalaminya: terjebak kemacetan, menggerutu tentang “orang idiot” yang mengemudi terlalu lambat di depan kita, atau “maniak” yang baru saja lewat. Namun bagaimana jika pengemudi yang lambat itu dengan hati-hati mengangkut kue pernikahan, atau mobil yang melaju kencang membawa seseorang ke rumah sakit? Studi baru yang menarik diterbitkan di PLOS SATU menunjukkan bahwa penilaian cepat ini berasal dari apa yang para peneliti sebut sebagai “ilusi kecukupan informasi” – kecenderungan kita untuk percaya bahwa kita memiliki cukup informasi untuk membuat keputusan yang tepat, bahkan ketika kita kehilangan detail penting.
“Kami menemukan bahwa, secara umum, orang tidak berhenti memikirkan apakah mungkin ada lebih banyak informasi yang dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih tepat,” jelas rekan penulis studi Angus Fletcher, seorang profesor bahasa Inggris di The Ohio State University dan anggota Narasi Proyek universitas, dalam sebuah pernyataan. “Jika Anda memberikan beberapa informasi yang tampaknya sesuai, sebagian besar akan mengatakan 'kedengarannya benar' dan menyetujuinya.”
Di dunia yang terpolarisasi saat ini, di mana perdebatan sengit mengenai segala hal mulai dari vaksin hingga perubahan iklim, memahami mengapa orang-orang tetap mempertahankan sudut pandang yang berbeda meskipun memiliki akses terhadap informasi yang sama sangatlah penting. Penelitian yang dilakukan oleh Fletcher, Hunter Gehlbach dari Johns Hopkins University, dan Carly Robinson dari Stanford University, mengungkapkan bahwa kita jarang berhenti sejenak untuk mempertimbangkan informasi apa yang mungkin kita lewatkan sebelum membuat penilaian.


Para peneliti melakukan percobaan dengan 1.261 partisipan Amerika yang direkrut melalui platform online Prolific. Studi ini berpusat pada skenario hipotetis tentang sebuah sekolah yang menghadapi keputusan penting: apakah akan bergabung dengan sekolah lain karena akuifer yang mengering mengancam pasokan air mereka.
Para peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok menerima informasi lengkap tentang situasi tersebut, termasuk argumen yang mendukung dan menentang merger. Dua kelompok lainnya hanya menerima sebagian informasi – baik argumen pro-merger atau pro-pemisahan. Temuan yang luar biasa? Mereka yang menerima informasi parsial merasa sama kompetennya dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan mereka yang memiliki gambaran lengkap.
“Mereka yang hanya memiliki separuh informasi sebenarnya lebih yakin dengan keputusan mereka untuk bergabung atau tetap berpisah dibandingkan mereka yang memiliki cerita lengkap,” kata Fletcher. “Mereka cukup yakin bahwa keputusan mereka adalah keputusan yang benar, meskipun mereka tidak memiliki semua informasi.”
Pengguna media sosial mungkin mengenali pola ini dalam perilaku mereka: dengan percaya diri berbagi atau mengomentari artikel setelah hanya membaca judul atau cuplikan, merasa mendapat informasi lengkap meski kehilangan konteks penting. Ini seperti mencoba mengulas sebuah film setelah hanya menonton bagian pertama, namun merasa memenuhi syarat untuk memberikan peringkat yang pasti.


Studi tersebut mengungkapkan temuan menarik mengenai pengaruh informasi baru. Ketika peserta yang awalnya hanya menerima satu sisi cerita kemudian disuguhkan argumen yang berlawanan, sekitar 55% mempertahankan posisi awal mereka dalam keputusan merger. Angka tersebut sebanding dengan kelompok kontrol, yang telah menerima semua informasi sejak awal.
Fletcher mencatat bahwa keterbukaan terhadap informasi baru ini mungkin tidak berlaku untuk isu-isu ideologis yang sudah mengakar kuat, di mana masyarakat mungkin tidak mempercayai informasi baru atau mencoba mengubah informasi tersebut agar sesuai dengan keyakinan mereka. “Tetapi sebagian besar konflik antarpribadi bukan soal ideologi,” jelasnya. “Itu hanyalah kesalahpahaman dalam kehidupan sehari-hari.”
Selain hubungan pribadi, temuan ini memiliki implikasi besar terhadap cara kita menghadapi masalah sosial dan politik yang kompleks. Ketika orang terlibat dalam perdebatan tentang topik kontroversial, masing-masing pihak mungkin merasa mendapat informasi lengkap namun kehilangan bagian penting dari teka-teki tersebut. Ini seperti dua orang yang berdebat tentang sebuah lukisan sambil melihatnya dari sudut yang berbeda: masing-masing hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri tetapi berasumsi bahwa mereka melihat gambar secara keseluruhan.
Fletcher, yang mempelajari bagaimana orang dipengaruhi oleh kekuatan cerita, menekankan pentingnya mencari informasi lengkap sebelum mengambil sikap. “Langkah pertama Anda ketika Anda tidak setuju dengan seseorang adalah berpikir, 'Apakah ada sesuatu yang saya lewatkan yang dapat membantu saya melihat perspektif mereka dan memahami posisi mereka dengan lebih baik?' Itulah cara untuk melawan ilusi kecukupan informasi.”
Ringkasan Makalah
Metodologi
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental yang telah didaftarkan sebelumnya dengan 1.261 peserta yang direkrut melalui Prolific, sebuah platform online. Peserta secara acak dibagi ke dalam kelompok yang berbeda: kelompok kontrol menerima informasi lengkap tentang skenario penggabungan sekolah, sedangkan kelompok perlakuan menerima argumen pro-merger atau pro-pemisahan. Beberapa peserta kemudian diberikan informasi tambahan dan diminta untuk menilai kembali posisi mereka, sementara yang lain mengisi pertanyaan survei tentang kepercayaan diri mereka dalam mengambil keputusan dan persepsi kecukupan informasi.
Hasil
Temuan utama mengungkapkan bahwa peserta yang hanya menerima separuh informasi merasa sama-sama kompeten dalam mengambil keputusan dibandingkan mereka yang memiliki informasi lengkap. Yang mengejutkan, mereka yang memiliki informasi parsial menunjukkan keyakinan yang lebih tinggi terhadap keputusan awal mereka. Ketika dipaparkan informasi lengkap kemudian, sebagian besar peserta tetap mempertahankan posisi semula, meski tingkat kepercayaan diri mereka menurun. Studi ini juga menemukan bukti adanya “efek konsensus yang salah,” di mana peserta percaya bahwa orang lain akan mencapai kesimpulan yang sama dengan mereka.
Keterbatasan
Para peneliti mengakui beberapa keterbatasan. Sifat hipotetis dari skenario penggabungan sekolah mungkin tidak menghasilkan investasi yang sama seperti keputusan di dunia nyata. Selain itu, penelitian ini menggunakan sampel online, dan peserta tidak tahu bahwa mereka menerima informasi yang tidak lengkap. Para peneliti juga mencatat bahwa definisi luas mereka mengenai informasi “cukup” – yang mencakup relevansi, kuantitas, kepentingan, dapat dipercaya, dan kredibilitas – mungkin mendapat manfaat dari pemeriksaan yang lebih terfokus dalam penelitian di masa depan.
Diskusi dan Kesimpulan
Studi ini melengkapi penelitian yang sudah ada mengenai “realisme naif” – kecenderungan untuk percaya bahwa kita melihat realitas obyektif – dengan mengidentifikasi bias psikologis lain yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Temuan ini menunjukkan bahwa dengan membuat masyarakat sadar akan potensi kesenjangan informasi, hal ini dapat meningkatkan pengambilan perspektif dan mengurangi konflik dalam berbagai situasi, mulai dari hubungan pribadi hingga wacana politik. Para peneliti mengusulkan bahwa mengembangkan kebiasaan mempertanyakan kecukupan informasi dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih bijaksana dan bernuansa.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini didukung oleh dana awal dari Johns Hopkins University School of Education, dan penyandang dana tidak mempunyai peran dalam desain penelitian, pengumpulan dan analisis data, keputusan untuk menerbitkan, atau persiapan naskah. Para penulis menyatakan tidak ada kepentingan yang bersaing.