

Gadis muda Yahudi mengibarkan bendera Israel di udara. (© Inna – stock.adobe.com)
Survei baru mengungkapkan 1 dari 3 mahasiswa Yahudi 'menyembunyikan' agama mereka di sekolah hanya agar mereka bisa menyesuaikan diri
MEDFORD, Massa.— Sudah satu tahun sejak serangan keji yang dilakukan organisasi teror Hamas terhadap Israel, sebuah peristiwa yang tidak hanya memicu perang dahsyat di Gaza namun juga memicu kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya di kampus-kampus Amerika selama setahun. Kini, sebuah studi baru mengungkap dampak besar pembantaian 7 Oktober dan perang yang terus berlanjut sejak saat itu terhadap mahasiswa AS, baik Yahudi maupun non-Yahudi.
Penelitian ini dilakukan untuk Jim Joseph Foundation oleh Dr. Eitan Hersh, seorang profesor ilmu politik di Universitas Tufts, dan Dahlia Lyss, lulusan Universitas Tufts tahun 2024 yang sekarang bekerja di bagian pemungutan suara di Impact Research di Washington, DC. Hasilnya menunjukkan perubahan signifikan dalam sikap dan pengalaman di kalangan mahasiswa pasca perang Israel-Hamas, dan perjuangan yang dihadapi mahasiswa Yahudi terkait identitas mereka.
Metodologi dan Ruang Lingkup
Studi ini menggunakan pendekatan metode campuran, yang menggabungkan survei skala besar dengan kelompok fokus yang mendalam. Lebih dari 1.000 siswa Yahudi dan 1.500 siswa non-Yahudi dari sekolah dengan populasi Yahudi yang signifikan berpartisipasi dalam survei ini. Penelitian ini dilakukan dalam tiga gelombang: April 2022, November-Desember 2023, dan April-Juni 2024. Desain longitudinal ini memungkinkan peneliti melacak perubahan sikap individu siswa dari waktu ke waktu, sehingga memberikan wawasan unik mengenai dampak 7 Oktober 2023. Serangan Hamas terhadap Israel dan kejadian selanjutnya.
Kelompok fokus juga dilakukan untuk memberikan kedalaman kualitatif terhadap data survei kuantitatif. Diskusi ini menyediakan platform bagi siswa untuk mengekspresikan pemikiran dan pengalaman mereka dengan kata-kata mereka sendiri, sehingga menambah kekayaan dan konteks pada temuan survei.
Implementasi survei dilakukan oleh College Pulse, sebuah perusahaan riset survei dan analitik yang mengkhususkan diri dalam memahami sikap dan perilaku mahasiswa. Untuk komponen kelompok fokus, College Pulse berkolaborasi dengan Dr. Debra Mashek, pakar penelitian kualitatif, yang merancang naskah kelompok fokus dan memimpin sesi.
Meningkatnya Ketegangan dan Pergeseran Dinamika Sosial
Salah satu temuan paling mencolok dari penelitian ini adalah sejauh mana konflik telah memberikan ketegangan pada hubungan sosial di kampus. Sepertiga responden Yahudi melaporkan kehilangan teman karena perbedaan pandangan mengenai perang, dan angka ini meningkat menjadi 45% pada mahasiswa Yahudi di universitas elit. Dampak sosialnya tidak terbatas pada pelajar Yahudi saja; 20% pelajar non-Yahudi mengatakan mereka tidak ingin berteman dengan seseorang yang mendukung keberadaan Israel sebagai negara Yahudi.
Statistik ini memberikan gambaran meningkatnya perpecahan sosial di kampus, dengan konflik Israel-Hamas yang menjadi titik awal perpecahan ideologi yang lebih luas. Dampak emosional dari perpecahan ini terlihat jelas dalam kelompok fokus. Seorang pelajar Yahudi, hampir menangis, menyatakan:
“Saya terus-menerus merasa frustrasi karena ada sejarah utuh yang tidak diakui oleh orang-orang dan bahwa sejarah tidak dimulai 70 tahun yang lalu seperti yang orang-orang pikirkan dan ada sejarah yang jauh lebih panjang… Saya merasa seperti orang-orang berpikir bahwa mereka tidak bisa berteman dengan seseorang jika mereka tidak memiliki setiap ide sempurna yang saya miliki dan itu membuat saya sedih karena itulah satu-satunya hal yang mungkin Anda lihat dalam diri seseorang.”
Kutipan ini merangkum rasa frustrasi dan kesedihan yang dirasakan banyak mahasiswa Yahudi mengenai penyederhanaan berlebihan dari situasi sejarah yang kompleks dan tekanan sosial yang mereka hadapi di kampus.
Persepsi Iklim Kampus dan Antisemitisme
Studi ini mengungkapkan kesenjangan yang semakin besar dalam cara mahasiswa Yahudi dan non-Yahudi memandang lingkungan kampus mereka. Dalam survei tahun 2024, 67% pelajar Yahudi percaya bahwa sebagian besar teman mereka bersimpati kepada warga Palestina, dibandingkan dengan 58% pelajar non-Yahudi yang berpandangan sama. Kesenjangan persepsi ini bahkan lebih parah terjadi di lembaga-lembaga elit, di mana 83% mahasiswa Yahudi dan 73% mahasiswa non-Yahudi merasa kampus mereka didominasi pro-Palestina.
Bersamaan dengan perubahan persepsi iklim kampus, penelitian ini mendokumentasikan peningkatan tajam mahasiswa Yahudi yang melaporkan pengalaman antisemitisme. Persentase mahasiswa Yahudi yang mengatakan ketakutan akan antisemitisme menjauhkan mereka dari aktivitas Yahudi di kampus meningkat dua kali lipat dari 8% menjadi 16% antara tahun 2022 dan 2023. Pada saat yang sama, jumlah mahasiswa yang mengatakan bahwa mereka tidak takut terhadap antisemitisme turun drastis dari 38% menjadi 20%.
Pada akhirnya, banyak mahasiswa Yahudi yang merasa semakin terisolasi dan rentan di kampus mereka, terjebak antara identitas mereka dan sentimen politik yang ada di sekitar mereka.


Penguatan Identitas dan Tekanan Sosial
Menariknya, terlepas dari tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa Yahudi, penelitian ini menemukan bahwa rasa identitas Yahudi mereka justru menguat selama periode ini. Persentase pelajar Yahudi yang mengatakan identitas Yahudi mereka sangat penting bagi mereka meningkat dari 47% pada tahun 2022 menjadi 55% pada tahun 2023 sebelum mencapai 49% pada tahun 2024.
Namun, rasa identitas yang meningkat ini muncul seiring dengan meningkatnya tekanan sosial. Tingkat mahasiswa Yahudi yang mengatakan bahwa mereka menyembunyikan identitas Yahudi mereka agar bisa diterima di kampus meningkat dua kali lipat antara tahun 2022 dan 2023. Demikian pula, persentase yang setuju bahwa orang-orang menilai negatif mahasiswa karena berpartisipasi dalam kegiatan Yahudi meningkat dari 19% menjadi 35%.
Statistik ini menunjukkan adanya dinamika yang kompleks di mana pelajar Yahudi secara bersamaan merasakan hubungan yang lebih kuat dengan identitas mereka dan kebutuhan yang lebih besar untuk menyembunyikannya dalam konteks sosial tertentu.
Konsumsi Berita dan Pandangan mengenai Konflik
Studi ini juga menemukan pola menarik dalam cara siswa mengonsumsi berita tentang konflik. Pelajar Yahudi jauh lebih mungkin mengikuti berita tentang perang, dengan 74-79% mengatakan bahwa mereka mengikuti berita tersebut atau sangat dekat, dibandingkan dengan hanya sekitar 50% pelajar non-Yahudi. Menariknya, di kalangan mahasiswa non-Yahudi, mereka yang menentang keberadaan Israel sebagai negara Yahudi lebih cenderung mengikuti berita tersebut dibandingkan mereka yang mendukungnya.
Ketika ditanya tentang sumber berita utama mereka, 41% responden Yahudi pada tahun 2023 mengutip outlet berita Amerika seperti New York Times, CNN, dan NPR, dibandingkan dengan 30% mahasiswa non-Yahudi. Media sosial merupakan sumber yang lebih signifikan bagi pelajar non-Yahudi, dengan 14% menyebutkan media sosial sebagai sumber utama dibandingkan 9% pelajar Yahudi.
Penelitian ini juga menggali pandangan siswa terhadap konflik itu sendiri. Di antara pelajar Yahudi pada tahun 2024, 51% menyalahkan Hamas atas perang saat ini, sementara 18% menyalahkan Israel. Sisanya sama-sama menyalahkan keduanya (22%) atau menganggap tidak ada pihak yang patut disalahkan (9%). Pelajar non-Yahudi memiliki pandangan yang berbeda, dengan 35% menyalahkan Israel, 18% menyalahkan Hamas, 30% sama-sama menyalahkan keduanya, dan 17% tidak menyalahkan keduanya.
Faktor Sosial Ekonomi dan Dampak Kesehatan Mental
Temuan tak terduga dari penelitian ini adalah adanya korelasi kuat antara status sosial ekonomi dan sikap terhadap Israel. Siswa dari latar belakang yang lebih kaya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, lebih cenderung mendukung keberadaan Israel sebagai negara Yahudi. Misalnya, di kalangan pelajar Yahudi, dukungan berkisar antara 40% di antara mereka yang berasal dari keluarga kelas bawah atau kelas pekerja hingga sekitar 75% di antara mereka yang berasal dari keluarga kelas atas.
Penelitian ini juga menyoroti dampak konflik terhadap kesehatan mental siswa. Pada musim gugur tahun 2023, 25% pelajar Yahudi menilai kesehatan mental mereka buruk, dibandingkan dengan 16% pelajar non-Yahudi. Pada musim semi tahun 2024, angka-angka ini masing-masing turun menjadi 13% dan 10%, yang menunjukkan adanya penurunan sementara dalam kesehatan mental di kalangan pelajar Yahudi segera setelah pecahnya perang.
Perspektif tentang Resolusi
Terlepas dari ketegangan dan perpecahan yang terungkap dalam penelitian ini, terdapat beberapa tanda kesamaan. Dalam diskusi kelompok terfokus, banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang menyatakan dukungannya terhadap solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik yang paling praktis, meskipun hal tersebut bukanlah hasil yang ideal bagi mereka.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu mahasiswa non-Yahudi: “Saya pikir harus ada kompromi di mana Palestina bisa bebas namun Israel juga bisa memiliki negaranya sendiri.”
Sentimen ini, yang juga diamini oleh peserta lain dalam kelompok fokus, menunjukkan bahwa bahkan di tengah ketegangan yang meningkat, terdapat pengakuan di antara banyak siswa akan perlunya pendekatan yang seimbang dalam menyelesaikan konflik.
Melihat ke Depan
Sifat komprehensif dari penelitian ini, yang menggabungkan data survei longitudinal dengan kelompok fokus yang mendalam, memberikan gambaran yang berbeda tentang dinamika kompleks yang terjadi di kampus-kampus Amerika. Dengan melacak perubahan individu mahasiswa dari waktu ke waktu dan membandingkan perspektif Yahudi dan non-Yahudi, penelitian ini menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana peristiwa global dapat membentuk pengalaman kampus dan hubungan antarpribadi.
“Saya mempunyai seorang teman yang beragama Yahudi dan saudara perempuannya tinggal di Tel Aviv, jadi ketika dia berbicara kepada saya tentang konflik tersebut, yang dia bicarakan lebih mengenai keselamatan dan kesejahteraan daripada konflik secara keseluruhan,” kata seorang mahasiswa non-Yahudi. “Dengan teman-teman Muslim saya, mungkin tidak terlalu membahas hal tersebut dan lebih banyak membahas tentang politik dan apa yang sedang terjadi di berita… Penting untuk bersikap terbuka dan berempati terhadap orang-orang yang berinteraksi dengan Anda dan mempertimbangkan perspektif serta pengalaman mereka.”
Temuan-temuan ini mengungkap lingkungan kampus di mana ketegangan sangat tinggi, perpecahan sosial semakin mendalam, dan banyak mahasiswa—khususnya mahasiswa Yahudi—berjuang untuk menavigasi identitas dan hubungan mereka dalam suasana yang bermuatan politik. Pada saat yang sama, penelitian ini juga menunjukkan ketahanan di kalangan pelajar Yahudi, dan banyak di antara mereka yang melaporkan adanya rasa identitas yang kuat meskipun ada tantangan yang mereka hadapi.
Saat universitas bergulat dengan tantangan-tantangan ini, temuan penelitian ini mungkin terbukti penting dalam mengembangkan strategi untuk menumbuhkan pemahaman, mendorong dialog, dan memastikan bahwa semua mahasiswa merasa aman dan dihormati di kampus, terlepas dari latar belakang atau keyakinan mereka. Penelitian ini menggarisbawahi perlunya pendekatan yang bernuansa dan berempati untuk mengatasi ketegangan di kampus, dan menyoroti pentingnya menciptakan ruang untuk dialog yang terbuka dan saling menghormati mengenai isu-isu global yang kompleks.
Pada akhirnya, penelitian ini tidak hanya berfungsi sebagai gambaran masa-masa penuh gejolak di kampus-kampus Amerika, namun juga sebagai seruan bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk mengatasi permasalahan mendalam mengenai identitas, kepemilikan, dan keterlibatan politik yang membentuk pengalaman mahasiswa di pendidikan tinggi. .