FILADELPHIA — Kita semua pernah mengalaminya: terjebak menunggu bus yang sepertinya tidak pernah datang, bertanya-tanya apakah harus terus menunggu atau mengurangi kerugian dan berjalan kaki. Kini, penelitian baru dari University of Pennsylvania mengungkapkan bahwa otak kita memiliki kalkulator internal canggih yang membantu kita membuat keputusan sepersekian detik tentang kegigihan.
Psikolog Joe Kable dan tim penelitinya telah menemukan wawasan menarik tentang bagaimana berbagai wilayah otak mengevaluasi kapan harus terus menunggu dan kapan harus pergi. Studi mereka, dipublikasikan di Jurnal Ilmu Saraflebih dari sekedar kesabaran — ini tentang memahami matematika mental yang rumit di balik mengetahui secara pasti kapan harus bertahan atau berhenti.
“Apakah Anda tetap yakin bahwa bus sedang dalam perjalanan, atau apakah Anda mengurangi kerugian dan beralih ke hal lain?” Kable bertanya dalam rilis universitas.
Dilema yang tampaknya biasa-biasa saja ini sebenarnya mewakili tantangan kognitif mendalam yang terus-menerus dinavigasi oleh otak kita.
Untuk mengatasi dilema ini, para peneliti merancang eksperimen cerdas yang meniru skenario menunggu di dunia nyata. Peserta – 18 orang sehat dan 31 orang dengan lesi otak tertentu – memainkan permainan yang melibatkan “koin” yang nilainya meningkat seiring waktu. Beberapa koin jatuh tempo dengan cepat, sementara koin lainnya membutuhkan waktu tunggu yang lebih lama. Yang terpenting, peserta tidak diberi tahu tentang pola dasar koin, sehingga memaksa mereka untuk belajar melalui pengalaman.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa wilayah otak yang berbeda memainkan peran unik dalam pengambilan keputusan. Korteks prefrontal ventromedial (vmPFC) tampaknya penting dalam mengevaluasi apakah menunggu itu bermanfaat. Secara keseluruhan, orang-orang yang mengalami kerusakan pada bagian ini lebih sedikit menunggu. Hal ini menunjukkan bahwa area otak ini membantu kita menghitung nilai subjektif dari kesabaran.
Sementara itu, peserta dengan lesi di daerah otak lain mengalami kesulitan yang berbeda. Mereka yang mengalami kerusakan pada korteks prefrontal dorsomedial (dmPFC) atau insula anterior tidak dapat membedakan antara situasi di mana ketekunan membuahkan hasil dan situasi di mana berhenti merokok adalah cara yang lebih cerdas.
“Ini bukan hanya tentang pengendalian diri atau impulsif,” jelas Camilla van Geen, penulis pertama studi tersebut. “Ini tentang bagaimana otak kita memperkirakan nilai dan beradaptasi secara real time untuk memutuskan kapan penantian akan membuahkan hasil.”
Salah satu temuan yang mengejutkan adalah bahwa korteks prefrontal lateral – yang secara tradisional dikaitkan dengan pengendalian diri – tampaknya tidak begitu penting untuk kegigihan seperti yang diperkirakan para peneliti sebelumnya.
Implikasinya jauh melampaui halte bus dan permainan menunggu. Para peneliti berpendapat bahwa pekerjaan mereka dapat membantu memahami dan berpotensi mengobati kondisi seperti kecemasan, depresi, dan kecanduan, yang sering kali melibatkan pola rumit dalam pemrosesan penghargaan dan ketekunan.
Kable dan timnya tidak berhenti sampai di sini. Mereka sekarang mengeksplorasi bagaimana neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin mempengaruhi kesediaan kita untuk menunggu, dan hasil awal menunjukkan bahwa serotonin memainkan peran yang sangat menarik.
Lain kali Anda mendapati diri Anda berdebat apakah akan terus menunggu atau melanjutkan, ingatlah: Otak Anda melakukan perhitungan yang sangat canggih, menimbang banyak faktor dalam sepersekian detik. Terkadang ketekunan adalah suatu kebajikan, dan terkadang mengetahui kapan harus berhenti adalah langkah paling cerdas.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Studi ini mengeksplorasi bagaimana lesi otak di area korteks frontal yang berbeda mempengaruhi ketekunan dalam tugas yang melibatkan imbalan yang tidak pasti. Peserta, termasuk 28 orang dengan lesi lobus frontal dan 18 orang kontrol sehat, menyelesaikan tugas “kesediaan untuk menunggu”. Dalam tugas ini, mereka memutuskan berapa lama menunggu sebuah koin mencapai nilai 10¢. Tugas ini memiliki dua versi: satu versi dimana kesabaran selalu optimal dan versi lainnya dimana menunggu sebentar lebih baik.
Para peneliti menganalisis perilaku menunggu peserta dan menggunakan model komputasi untuk memahami proses pengambilan keputusan. Lesi dikelompokkan berdasarkan lokasinya, seperti ventromedial prefrontal cortex (vmPFC) dan dorsomedial prefrontal cortex (dmPFC).
Hasil Utama
Studi ini menemukan perbedaan yang jelas berdasarkan lokasi lesi:
- Lesi vmPFC: Peserta lebih sedikit menunggu secara keseluruhan, menunjukkan ketidaksabaran terlepas dari lingkungan tugasnya.
- dmPFC/Lesi Insula Anterior: Para peserta kesulitan menyesuaikan waktu tunggu mereka berdasarkan lingkungan, yang menunjukkan adanya gangguan dalam kemampuan beradaptasi.
- Kontrol Sehat dan Kontrol Frontal: Mereka menunggu lebih lama ketika hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan, dan menunjukkan persistensi adaptif.
Model komputasi menunjukkan bahwa kelompok vmPFC memiliki kesediaan awal yang lebih rendah untuk menunggu, sementara kelompok dmPFC/Insula Anterior kesulitan belajar dari masukan mengenai berhenti merokok.
Keterbatasan Studi
Penelitian ini memiliki ukuran sampel yang kecil, terutama untuk kelompok lesi tertentu, yang mungkin mempengaruhi kemampuan generalisasi temuan. Selain itu, urutan blok tugas yang tetap dapat memengaruhi pola pembelajaran. Model komputasinya, meskipun efektif, mengandalkan asumsi yang mungkin terlalu menyederhanakan pengambilan keputusan di dunia nyata.
Diskusi & Kesimpulan
Temuan ini menyoroti bahwa wilayah korteks frontal yang berbeda memainkan peran berbeda dalam persistensi. VmPFC tampaknya membantu mempertahankan perilaku berorientasi tujuan jangka panjang, sedangkan dmPFC dan insula anterior sangat penting untuk mengadaptasi ketekunan terhadap perubahan keadaan. Wawasan ini dapat menjadi masukan bagi pengobatan kondisi kesehatan mental seperti depresi, yang sering kali melemahkan ketekunan. Selain itu, kurangnya gangguan pada peserta dengan lesi korteks prefrontal lateral menantang pandangan tradisional bahwa kegigihan hanya bergantung pada pengendalian diri.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini antara lain didukung oleh dana hibah dari National Institutes of Health (NIH) dan National Science Foundation (NSF). Para penulis melaporkan tidak ada kepentingan yang bersaing.