

(Kredit: SIMON SHIM/Shutterstock)
DUNEDIN, Selandia Baru — Salah satu pertanyaan paling mendasar dalam biologi adalah apakah tindakan manusia dapat secara langsung menyebabkan perubahan evolusioner pada spesies liar. Kini, para peneliti dari Universitas Otago telah mendokumentasikan contoh paling jelas dari evolusi yang disebabkan oleh manusia, yang menunjukkan bagaimana penggundulan hutan di Selandia Baru telah mendorong perubahan warna yang cepat pada serangga asli.
Penelitian yang dipublikasikan di Sainsmengungkapkan betapa luasnya pembukaan hutan telah memaksa spesies lalat batu meninggalkan penyamaran pelindung yang tidak lagi dibutuhkannya. Penelitian ini mewakili kasus yang lebih pasti dibandingkan dengan contoh terkenal mengenai ngengat di Inggris, yang berubah warna sebagai respons terhadap polusi industri pada tahun 1800an.
Ceritanya berpusat pada dua jenis lalat batu yang ditemukan di sungai Selandia Baru. Satu spesies, Austroperlamenghasilkan sianida sebagai mekanisme pertahanan dan memiliki warna peringatan khas yang menandakan toksisitasnya terhadap predator. Spesies lainnya, Zelandoperlaberevolusi untuk meniru penampilan kerabat berbahaya ini – sebuah strategi bertahan hidup yang dikenal sebagai mimikri Batesian.
Di aliran hutan alami, mimikri ini berfungsi sebagai perlindungan efektif bagi Zelandoperla. Burung belajar menghindari apa pun yang menyerupai racun Austroperla, dengan menyediakan payung pelindung bagi penipu yang tidak berbahaya. Namun, hubungan ini mulai terurai ketika manusia mulai menebangi hutan di Selandia Baru.
Tim peneliti menganalisis lebih dari 1.200 spesimen lalat batu dari 19 lokasi berbeda di seluruh Selandia Baru bagian selatan, termasuk lokasi yang berhutan dan gundul. Mereka menemukan bahwa di kawasan yang hutannya masih utuh, sekitar 40% Zelandoperla menunjukkan warna peringatan gelap. Sebaliknya, kawasan yang mengalami deforestasi menunjukkan penurunan drastis, dan hanya 14% yang masih mempertahankan penyamaran tersebut.
“Di kawasan hutan alami, spesies asli telah mengembangkan warna 'peringatan' yang meniru warna spesies hutan beracun, untuk mengelabui predator agar mengira mereka juga beracun,” kata rekan penulis studi Jon Waters, seorang profesor di Departemen Zoologi Utago. , dalam sebuah pernyataan. “Tetapi penebangan hutan sejak kedatangan manusia telah menghilangkan spesies beracun tersebut. Akibatnya, di kawasan hutan yang gundul, spesies yang meniru telah mengabaikan strategi ini – karena tidak ada yang bisa ditiru – dan malah berevolusi menjadi warna yang berbeda.”


Melalui analisis genetik, para ilmuwan mengidentifikasi bahwa perubahan warna ini dikendalikan oleh satu gen yang disebut ebony. Pola perubahan genetik yang sama terjadi secara independen di berbagai populasi, menunjukkan bagaimana tekanan lingkungan yang serupa dapat mendorong evolusi paralel.
Waktu terjadinya perubahan ini terbukti sangat mengungkap. Di wilayah yang paling awal mengalami deforestasi – selama pemukiman awal Polinesia 550 hingga 750 tahun yang lalu – frekuensi peniruan warna gelap turun di bawah 10%. Kawasan yang dibuka baru-baru ini (dalam 180 tahun terakhir) menunjukkan tingkat peralihan, yang menunjukkan bahwa evolusi masih berlangsung.
Para peneliti juga menemukan mengapa pergeseran ini terjadi. Melalui eksperimen predasi menggunakan serangga model, mereka menemukan bahwa meskipun burung di kawasan hutan secara aktif menghindari peniruan warna gelap, keunggulan ini menghilang di kawasan yang gundul. Selain itu, menghasilkan warna gelap juga memerlukan biaya reproduksi – betina yang berkulit lebih gelap menghasilkan lebih sedikit telur dibandingkan betina yang lebih terang.
“Penelitian ini penting karena menunjukkan bahwa, setidaknya untuk beberapa spesies asli kita, terdapat kemungkinan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia, bahkan ketika perubahan tersebut terjadi dengan cepat,” jelas rekan penulis studi, Dr. Graham McCulloch. . “Hal ini juga menunjukkan bahwa populasi independen telah mengalami perubahan serupa sebagai respons terhadap deforestasi – terdapat perubahan serupa secara independen di berbagai bagian wilayah jelajah spesies – menunjukkan bahwa evolusi dapat menjadi proses yang dapat diprediksi.”
Ketika kita terus mengubah bentang alam bumi, studi ini mengingatkan kita bahwa tindakan kita mempunyai konsekuensi yang lebih dari sekedar dampak langsung terhadap lingkungan. Kita tidak hanya mengubah habitat – kita juga menjadi partisipan aktif dalam evolusi spesies yang menghuni habitat tersebut.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti mengumpulkan 1.204 lalat batu Zelandoperla dewasa dari 19 lokasi berbeda di Selandia Baru bagian selatan – 9 lokasi berhutan dan 10 lokasi gundul. Mereka mengukur kegelapan warna setiap serangga dan menganalisis DNA mereka, dengan fokus khusus pada gen eboni yang diketahui mempengaruhi warna serangga. Mereka juga melakukan eksperimen pemangsaan menggunakan model buatan lalat batu terang dan gelap untuk menguji bagaimana burung merespons pola warna yang berbeda di lingkungan hutan dan gundul.
Hasil Utama
Studi ini menemukan pola yang konsisten di seluruh lokasi: kawasan hutan memiliki tingkat mimik warna gelap yang tinggi (sekitar 40%), sementara kawasan yang gundul menunjukkan tingkat mimik warna yang jauh lebih rendah (sekitar 14%). Pola ini dikaitkan dengan perubahan genetik spesifik pada gen kayu eboni. Para peneliti juga menemukan bahwa betina yang lebih gelap menghasilkan lebih sedikit telur, menunjukkan adanya biaya reproduksi untuk mempertahankan warna mimesis.
Keterbatasan Studi
Meskipun penelitian ini memberikan bukti kuat mengenai evolusi yang disebabkan oleh manusia, penelitian ini berfokus pada satu spesies di satu wilayah geografis. Selain itu, meskipun para peneliti mendokumentasikan perubahan dalam periode waktu yang berbeda, mereka tidak memiliki sampel sejarah langsung sebelum terjadinya deforestasi, melainkan mengandalkan perbandingan lokasi-lokasi berbeda yang mengalami deforestasi pada waktu yang berbeda.
Diskusi & Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bagaimana aktivitas manusia dapat mendorong perubahan evolusioner yang cepat melalui perubahan interaksi spesies. Penelitian ini sangat berguna karena menunjukkan pola yang sama terjadi secara independen di berbagai lokasi, mengesampingkan penjelasan alternatif, dan mengidentifikasi gen spesifik yang bertanggung jawab atas perubahan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa spesies dapat beradaptasi dengan relatif cepat terhadap lingkungan yang dimodifikasi oleh manusia, meskipun adaptasi tersebut mungkin memerlukan biaya.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini didanai oleh Royal Society Te Apārangi melalui kontrak Marsden. Para penulis menyatakan tidak ada kepentingan yang bersaing. Semua data telah tersedia untuk umum melalui repositori digital Dryad dan Arsip Baca Urutan.