

Gambaran artistik Bumi dengan cincin bebatuan di luar angkasa. (Kredit: Oliver Hull)
MELBOURNE — Apakah Bumi dulunya lebih mirip Saturnus? Para ilmuwan yakin jawabannya adalah ya! Dalam sebuah studi inovatif, para peneliti di Australia mengusulkan bahwa Bumi mungkin pernah memiliki sistem cincinnya sendiri yang spektakuler.
Ide provokatif ini, diterbitkan dalam jurnal Surat Ilmu Bumi dan Planetmenawarkan penjelasan baru untuk periode membingungkan dalam sejarah planet kita yang dikenal sebagai lonjakan tumbukan Ordovisium. Sekitar 466 juta tahun yang lalu, Bumi mengalami lonjakan tumbukan asteroid yang tidak biasa yang berlangsung selama sekitar 40 juta tahun. Selama waktu ini, planet ini dibombardir oleh batuan luar angkasa dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Hingga saat ini, para ilmuwan berjuang untuk menjelaskan mengapa hal ini terjadi dan mengapa hal itu berhenti.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Andy Tomkins dari Universitas Monash, menyajikan hipotesis yang meyakinkan: sebuah asteroid besar pernah berdekatan dengan Bumi, hancur karena gaya gravitasi planet kita, dan membentuk cincin puing sementara di sekitar khatulistiwa.
Menurut mereka, cincin ini secara bertahap membusuk selama jutaan tahun, dan secara berkala menjatuhkan pecahan-pecahannya ke permukaan Bumi. Pecahan-pecahan ini akan menciptakan banyak kawah tubrukan yang telah kita amati sejak periode waktu itu.
Yang membuat teori ini sangat menarik adalah distribusi kawah tumbukan purba ini. Para peneliti menemukan bahwa semua kawah yang diketahui dari periode Ordovisium terletak dalam jarak 30 derajat dari ekuator. Pola ini sangat tidak mungkin terjadi secara kebetulan jika penumbuk datang secara acak dari sabuk asteroid.
“Selama jutaan tahun, material dari cincin ini secara bertahap jatuh ke Bumi, sehingga menciptakan lonjakan dampak meteorit yang diamati dalam catatan geologi,” kata Prof. Tomkins dalam rilis media. “Kami juga melihat bahwa lapisan batuan sedimen dari periode ini mengandung puing meteorit dalam jumlah yang luar biasa.”


Untuk menguji hipotesis mereka, para ilmuwan menggunakan metode statistik canggih dan rekonstruksi tektonik lempeng. Mereka menghitung bahwa kemungkinan distribusi dampak ini di sepanjang ekuator terjadi secara acak sangat rendah – sekitar satu dari 25 juta.
Implikasi dari cincin angkasa ini tidak hanya menjelaskan lonjakan tumbukan. Para peneliti berspekulasi bahwa cincin ini mungkin memiliki dampak signifikan pada iklim Bumi. Sama seperti bagaimana cincin Saturnus menghasilkan bayangan di permukaannya, cincin Bumi dapat menaungi bagian-bagian planet tersebut, yang berpotensi memicu peristiwa pendinginan global besar yang dikenal sebagai Zaman Es Hirnantian.
Periode pendinginan ini, yang menyebabkan suhu global anjlok sekitar delapan derajat Celsius (lebih dari 14 derajat Fahrenheit), telah lama membingungkan para ilmuwan karena terjadi meskipun kadar karbon dioksida di atmosfer tinggi. Keberadaan cincin puing dapat membantu menjelaskan paradoks ini.
Lebih jauh, para peneliti berpendapat bahwa hilangnya cincin tersebut pada akhirnya dapat menjadi penyebab pemanasan cepat yang terjadi setelah Zaman Es. Saat cincin menipis dan menghilang, lebih banyak sinar matahari yang mencapai permukaan Bumi, yang berpotensi menyebabkan peningkatan suhu.
“Gagasan bahwa sistem cincin dapat memengaruhi suhu global menambah lapisan kompleksitas baru pada pemahaman kita tentang bagaimana peristiwa luar angkasa dapat membentuk iklim Bumi,” tambah Prof. Tomkins.
Meskipun masih diperlukan lebih banyak bukti untuk mengonfirmasi hipotesis ini, hipotesis ini membuka jalan baru yang menarik bagi penelitian dalam ilmu planet dan paleoklimatologi. Jika dikonfirmasi, ini berarti Bumi pernah memiliki cincinnya sendiri, bergabung dengan jajaran raksasa gas di tata surya kita (Jupiter, Saturnus, Neptunus, Uranus) – meskipun hanya sekejap mata.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menggunakan beberapa pendekatan untuk menguji hipotesis mereka. Mereka menganalisis posisi paleogeografis dari 21 kawah tumbukan yang diketahui dari periode Ordovisium menggunakan enam model rekonstruksi lempeng tektonik yang berbeda. Mereka juga memperkirakan luas kerak benua yang mampu mempertahankan kawah tumbukan Ordovisium. Dengan menggunakan metode statistik, termasuk perhitungan probabilitas binomial dan analisis klaster spasial multijarak, mereka menilai kemungkinan distribusi kawah yang diamati terjadi secara kebetulan. Selain itu, mereka melakukan perhitungan untuk memperkirakan batas Roche untuk Bumi, yaitu jarak di mana benda langit akan pecah karena gaya pasang surut.
Hasil Utama
Studi tersebut menemukan bahwa semua 21 kawah tumbukan Ordovisium yang diketahui terletak dalam jarak 30 derajat dari paleo-ekuator. Analisis statistik menunjukkan bahwa kemungkinan distribusi ini terjadi secara acak sangat rendah (sekitar 1 dalam 25 juta). Analisis klaster spasial mengonfirmasi bahwa tumbukan Ordovisium secara signifikan lebih terklaster daripada tumbukan dari periode waktu lainnya. Temuan ini mendukung hipotesis adanya cincin puing sementara di sekitar Bumi selama periode Ordovisium.
Keterbatasan Studi
Studi ini mengandalkan kumpulan kawah tumbukan Ordovisium yang diketahui saat ini, yang mungkin bukan merupakan catatan lengkap. Usia beberapa kawah memiliki ketidakpastian yang besar. Para peneliti mengakui bahwa perkiraan mereka tentang ukuran asteroid awal dan komposisi cincin bersifat spekulatif dan memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Efek iklim dari cincin yang diusulkan juga bersifat hipotetis dan memerlukan pemodelan yang lebih rinci untuk mengonfirmasinya.
Diskusi & Kesimpulan
Para peneliti menyarankan bahwa hipotesis mereka dapat menjelaskan beberapa aspek membingungkan dari periode Ordovisium, termasuk lonjakan tumbukan, distribusi kawah di ekuator, dan dimulainya zaman es besar. Mereka mengusulkan bahwa pecahnya asteroid besar di dekat Bumi, bukan di sabuk asteroid yang jauh, menjelaskan bukti yang diamati dengan lebih baik. Studi ini membuka jalan baru untuk penelitian, termasuk analisis yang lebih rinci dari sedimen Ordovisium untuk material luar angkasa dan pemodelan lanjutan dari evolusi sistem cincin yang diusulkan dan efek iklim.
Pendanaan & Pengungkapan
Penelitian ini didukung oleh hibah dari Australian Research Council. Para penulis menyatakan tidak ada kepentingan finansial atau hubungan pribadi yang saling bertentangan yang dapat memengaruhi pekerjaan yang dilaporkan dalam makalah ini.