LONDON — Bayangkan ini: Tsunami yang lebih tinggi dari Menara Pisa, fjord yang berubah menjadi bak mandi alam, dan seluruh Bumi bergetar seperti garpu tala selama lebih dari seminggu. Kedengarannya seperti alur film bencana, tetapi itulah kenyataan dari peristiwa luar biasa yang terjadi di Greenland, yang membuat para ilmuwan berebut mencari penjelasan.
Pada tanggal 16 September 2023, puncak gunung raksasa di alam liar Greenland Timur runtuh menjadi fjord terpencil, memicu serangkaian peristiwa dahsyat. Ini bukan sekadar tanah longsor biasa – ini adalah bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim yang mengguncang Bumi selama sembilan hari yang mencengangkan.
Kisah ini dimulai dengan sebuah misteri. Para ahli seismologi di seluruh dunia mendeteksi sinyal yang tidak biasa yang beriak melalui kerak Bumi. Tidak seperti “gemuruh” dan “bunyi ping” gempa bumi yang biasa, getaran ini menghasilkan dengungan monoton pada satu frekuensi. Getaran ini berlangsung selama berhari-hari, bergerak dari Kutub Utara ke Antartika, membuat para ahli bingung. Mereka menjulukinya sebagai “USO” – objek seismik yang tidak teridentifikasi.
Sementara itu, berita tentang tsunami besar di fjord Greenland yang terpencil mulai bermunculan. Saat para ilmuwan menyusun teka-teki tersebut, mereka mengungkap serangkaian kejadian yang lebih dramatis daripada yang dapat dibayangkan siapa pun.
Jauh di atas Dickson Fjord, puncak gunung setinggi 1,2 kilometer perlahan-lahan mulai tidak stabil. Karena perubahan iklim menyebabkan gletser di dasarnya menipis, permukaannya yang berbatu kehilangan daya dukungnya. Dalam sebuah momen bencana, 25 juta meter kubik batu dan es – cukup untuk mengisi 10.000 kolam renang ukuran Olimpiade – jatuh ke fjord di bawahnya.
Dampaknya, dijelaskan dalam jurnal Sains, Bencana itu dahsyat. Dinding air melesat setinggi 200 meter ke udara – hampir setinggi Jembatan Golden Gate. Gelombang tsunami setinggi 110 meter melanda fjord, secara bertahap berubah menjadi gerakan berirama yang dikenal sebagai seiche.
Yang membuat peristiwa ini benar-benar luar biasa adalah lamanya gerakan ini berlangsung. Seiche mempertahankan frekuensi yang hampir konstan sekitar 11 osilasi per menit (atau periode 92 detik), dan secara bertahap berkurang amplitudonya selama sembilan hari. Gerakan berirama ini mentransfer energi ke batuan dasar di sekitarnya, menghasilkan gelombang seismik yang bergerak mengelilingi planet.
Dr. Stephen Hicks dari UCL Earth Sciences, salah satu penulis penelitian tersebut, mengungkapkan kebingungan awalnya. “Saat pertama kali melihat sinyal seismik, saya benar-benar bingung. Meskipun kita tahu seismometer dapat merekam berbagai sumber yang terjadi di permukaan Bumi, belum pernah sebelumnya gelombang seismik yang berlangsung lama dan bergerak secara global, yang hanya berisi satu frekuensi osilasi, direkam,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Dampak yang luas dari peristiwa itu sungguh menyadarkan. Tujuh puluh kilometer jauhnya, gelombang setinggi empat meter menghantam pangkalan penelitian di pulau Ella Ø, menghancurkan infrastruktur dan situs warisan budaya yang berharga. Untungnya, pangkalan itu tidak berpenghuni pada saat itu, tetapi insiden itu menunjukkan bahaya bagi masyarakat dan infrastruktur pesisir. Selain itu, jika kapal pesiar wisata – yang sering berlayar di perairan ini – berada di daerah itu, konsekuensinya bisa sangat menghancurkan.
Insiden ini menandai longsor besar pertama yang terdokumentasi dan berpotensi menimbulkan tsunami di Greenland Timur, yang menyoroti bagaimana perubahan iklim membentuk kembali bentang alam kutub dengan cara yang tak terduga dan berpotensi membahayakan. Seperti yang dicatat oleh Dr. Kristian Svennevig dari Survei Geologi Denmark dan Greenland, “Sebagai ilmuwan longsor, aspek menarik lainnya dari studi ini adalah bahwa ini adalah longsor dan tsunami pertama yang pernah diamati dari Greenland timur, yang menunjukkan bagaimana perubahan iklim telah memberikan dampak besar di sana.”
Saat gletser menipis dan menyusut akibat pemanasan suhu, gletser dapat merusak permukaan batu di sekitarnya, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya tanah longsor besar. Saat tanah longsor ini terjadi di dekat badan air, tanah longsor ini berpotensi memicu tsunami dan seiche yang berlangsung lama, seperti yang ditunjukkan secara dramatis dalam kasus ini.
Studi tentang peristiwa luar biasa ini dimungkinkan oleh kolaborasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari 68 ilmuwan dari 40 lembaga di 15 negara. Mereka menggabungkan data dari seismometer, sensor infrasonik, pengukuran lapangan, citra satelit, dan simulasi komputer canggih untuk merekonstruksi rangkaian peristiwa.
Penelitian ini tidak hanya memecahkan misteri geofisika, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat nyata tentang interaksi kompleks antara sistem Bumi di dunia yang memanas. Seiring dengan percepatan perubahan iklim, sistem pemantauan dan peringatan dini di wilayah yang sebelumnya stabil akan menjadi semakin penting untuk melindungi masyarakat dan infrastruktur yang rentan.
“Studi kami tentang peristiwa ini secara menakjubkan menyoroti keterkaitan rumit antara perubahan iklim di atmosfer, ketidakstabilan es gletser di kriosfer, pergerakan badan air di hidrosfer, dan kerak bumi yang padat di litosfer,” kata Dr. Hicks.
Dengungan Bumi selama sembilan hari mungkin telah berhenti, tetapi dampaknya terhadap pemahaman ilmiah dan kesadaran publik terus tumbuh. Peristiwa Dickson Fjord telah menjadi simbol kuat dari dinamisme planet kita dan konsekuensi tak terduga dari perubahan iklim. Saat kita menghadapi masa depan lingkungan yang tidak pasti, kejadian luar biasa ini mengingatkan kita akan kebutuhan kritis untuk pengamatan Bumi yang komprehensif, penelitian multidisiplin, dan kerja sama global dalam mengatasi tantangan yang ada di depan.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Tim peneliti menggunakan pendekatan multidisiplin untuk mempelajari peristiwa kompleks ini. Mereka menganalisis data seismik dari jaringan global untuk mengkarakterisasi sinyal periode panjang yang tidak biasa. Citra satelit dan pengamatan lapangan, termasuk data dari militer Denmark yang memeriksa lokasi beberapa hari setelah peristiwa, memberikan informasi penting tentang dampak tanah longsor dan tsunami. Model matematika tingkat lanjut digunakan untuk mensimulasikan tsunami dan seiche yang dihasilkan, dengan menggabungkan data batimetri fjord yang terperinci. Model-model ini membantu menjelaskan bagaimana gerakan air di fjord menghasilkan gelombang seismik yang diamati.
Hasil
Studi tersebut mengonfirmasi bahwa longsor seluas 25 juta meter kubik memicu tsunami besar dengan ketinggian awal hingga 200 meter. Tsunami ini berkembang menjadi seiche dengan periode sekitar 90 detik, yang sangat mirip dengan periode 92 detik dari sinyal seismik yang diamati. Seiche berlangsung selama sembilan hari, menghasilkan getaran yang dapat dideteksi oleh seismometer di seluruh dunia. Model para peneliti berhasil menciptakan kembali lebar dan kedalaman fjord pada resolusi tinggi, yang menunjukkan bagaimana ritme massa air yang bergerak maju mundur cocok dengan sinyal seismik.
Keterbatasan
Lokasi kejadian yang terpencil membatasi pengamatan lapangan langsung, sehingga memerlukan ketergantungan besar pada data satelit dan penginderaan jarak jauh. Studi ini juga dibatasi oleh kurangnya data level air frekuensi tinggi di Dickson Fjord itu sendiri. Selain itu, ketidakpastian dalam data batimetri dekat pantai mungkin telah memengaruhi ketepatan simulasi tsunami dan seiche.
Diskusi dan Kesimpulan
Peristiwa ini menggarisbawahi interaksi kompleks antara perubahan iklim, penyusutan gletser, tanah longsor, dan tsunami di wilayah kutub. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana peristiwa geologi lokal dapat berdampak pada geofisika global dan menyoroti perlunya sistem pemantauan yang lebih baik di wilayah terpencil yang berpotensi berbahaya. Temuan ini menunjukkan bahwa peristiwa serupa dapat terjadi di sistem fjord lain, yang menekankan pentingnya penilaian risiko dan kesiapsiagaan di wilayah ini. Studi ini juga menunjukkan nilai kolaborasi ilmiah interdisipliner dan internasional dalam memahami fenomena alam yang kompleks.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini melibatkan ilmuwan dari 40 lembaga di 15 negara, yang menunjukkan adanya basis dukungan dan kolaborasi yang luas. Meskipun rincian pendanaan spesifik tidak diberikan dalam siaran pers, kemungkinan besar berbagai lembaga penelitian nasional dan internasional berkontribusi pada studi berskala besar ini. Tidak ada konflik kepentingan yang diungkapkan.