Adelaide, Australia — Monster yang membuat anak-anak kita terjaga di malam hari bukanlah hal yang ada dalam dongeng — mereka terbuat dari piksel dan like di media sosial. Sebuah studi komprehensif mengungkap tren yang meresahkan: penggunaan ponsel di malam hari mengubah waktu tidur menjadi medan pertempuran untuk tidur dan kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan di Australia ini mengungkap hubungan yang meresahkan antara SMS larut malam, perundungan siber, dan tekanan psikologis di antara anak-anak berusia tujuh tahun.
Para ilmuwan mengatakan ritual masa kanak-kanak untuk begadang hingga melewati waktu tidur telah berubah menjadi suram di era digital. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Remajamenganalisis data dari lebih dari 53.000 anak-anak Australia berusia antara tujuh dan 19 tahun. Bagi banyak anak, “mati lampu” hanyalah awal dari aktivitas daring mereka di malam hari — dan konsekuensinya lebih serius daripada sekadar rasa kantuk di hari berikutnya.
Pengumpulan data dilakukan antara Maret dan Desember 2019, menggunakan kuesioner yang meneliti berbagai aspek ketahanan dan kesejahteraan. Survei ini mencakup item demografi, item perilaku berisiko dan protektif, dan item perilaku berisiko opsional.
Untuk memahami perasaan anak-anak, para peneliti menggunakan serangkaian pertanyaan khusus yang disebut PHQ-4. Pertanyaan ini menanyakan kepada anak-anak apakah mereka merasa gugup, khawatir, sedih, atau tidak tertarik pada sesuatu. Mereka dapat menjawab mulai dari “Tidak pernah” hingga “Hampir setiap hari.”
Pertanyaan lainnya mencakup seberapa sering anak-anak menggunakan ponsel mereka di malam hari, seberapa nyenyak mereka tidur, atau apakah mereka pernah di-bully secara online. Misalnya, mereka bertanya apakah anak-anak tidur selama delapan jam hampir setiap malam dan seberapa sering mereka mengirim pesan di ponsel mereka larut malam. Mereka juga bertanya apakah anak-anak baru-baru ini di-bully di sekolah.
Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah sekitar sepertiga anak sekolah dasar (usia 7-11) dan lebih dari 60% siswa sekolah menengah (usia 12-19) melaporkan menggunakan ponsel mereka di malam hari setidaknya seminggu sekali. Penggunaan ponsel di malam hari ini dikaitkan dengan durasi tidur yang lebih pendek dan peningkatan tekanan psikologis di semua kelompok usia.
Namun, bukan hanya soal kurang tidur. Studi tersebut juga menemukan bahwa anak-anak yang mengalami perundungan siber cenderung lebih sering menggunakan ponsel di malam hari dan melaporkan masalah tidur serta tekanan psikologis. Sekitar 15% dari anak-anak yang disurvei pernah mengalami perundungan siber di masa sekolah sebelumnya, dengan tingkat tertinggi di awal masa remaja.
“Anak-anak pra-remaja memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan sosial-emosional karena mereka berada pada tahap perkembangan di mana mereka kurang siap secara kognitif, perilaku, dan neurobiologis,” kata rekan penulis studi Dr. Stephanie Centofanti, seorang peneliti dari University of South Australia, dalam sebuah pernyataan.
Centofanti dan timnya menggunakan pendekatan cerdas untuk meneliti hubungan antara penggunaan telepon di malam hari, perundungan siber, tidur, dan tekanan psikologis. Mereka mengamati apakah penggunaan telepon di malam hari dapat memperkuat dampak negatif perundungan siber terhadap tidur dan kesehatan mental.
Menariknya, hasil penelitian menunjukkan beberapa pola yang tidak terduga. Bagi anak laki-laki, terutama mereka yang duduk di sekolah menengah, penggunaan telepon di malam hari memang memperburuk tekanan psikologis yang terkait dengan perundungan siber. Namun, efek ini sebenarnya lebih kuat bagi anak laki-laki yang tidak pernah mengalami perundungan siber. Para peneliti menduga hal ini bisa jadi disebabkan oleh “efek batas atas” – anak-anak yang mengalami perundungan siber sudah melaporkan tingkat tekanan yang sangat tinggi sehingga tidak banyak ruang untuk peningkatan lebih lanjut.
Terkait tidur, penggunaan telepon di malam hari terbukti memperburuk dampak negatif cyberbullying terhadap kualitas tidur baik untuk anak laki-laki maupun perempuan di semua kelompok usia. Sekali lagi, efek ini secara mengejutkan lebih kuat pada anak-anak yang tidak mengalami cyberbullying.
Temuan penelitian ini tidak sesederhana mengatakan “ponsel itu buruk.” Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih baik untuk mengelola penggunaan perangkat digital anak-anak, terutama di malam hari.
Bagi orang tua, pendidik, dan penyedia layanan kesehatan, penelitian ini hanya memperkuat pentingnya mengatasi penggunaan telepon di malam hari sebagai bagian dari strategi menyeluruh untuk meningkatkan kualitas tidur dan kesehatan mental anak. Hal ini dapat mencakup penetapan aturan rumah tangga tentang penggunaan perangkat setelah tidur, mendidik anak tentang pentingnya tidur, dan waspada terhadap tanda-tanda perundungan siber.
“Jelas bahwa orang tua perlu lebih memerhatikan dalam mengelola penggunaan telepon pintar di malam hari, terutama jika anak-anak mereka lebih rentan terhadap perundungan siber, dan memastikan anak-anak mereka mendapatkan tidur yang cukup,” kata Dr. Centofanti.
Seiring dengan semakin digitalnya dunia kita, memahami bagaimana teknologi memengaruhi kesejahteraan anak-anak kita menjadi lebih penting dari sebelumnya. Studi ini memberikan wawasan berharga yang dapat membantu membentuk kebiasaan digital yang lebih sehat bagi generasi mendatang.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Para peneliti menggunakan data dari survei berskala besar terhadap anak-anak sekolah Australia. Survei tersebut menanyakan pertanyaan tentang penggunaan telepon di malam hari, kebiasaan tidur, pengalaman perundungan siber, dan tekanan psikologis. Untuk mengukur tekanan psikologis, mereka menggunakan kuesioner singkat berisi 4 item yang disebut Patient Health Questionnaire-4 (PHQ-4). Para peneliti kemudian menggunakan teknik statistik untuk menganalisis bagaimana faktor-faktor yang berbeda ini saling terkait, dengan melihat perbedaan antara kelompok usia dan jenis kelamin.
Hasil Utama
Studi tersebut menemukan bahwa penggunaan telepon di malam hari dan perundungan siber keduanya terkait secara independen dengan durasi tidur yang lebih pendek dan tingkat tekanan psikologis yang lebih tinggi. Ketika mereka mengamati bagaimana faktor-faktor ini berinteraksi, mereka menemukan bahwa penggunaan telepon di malam hari cenderung memperburuk efek negatif perundungan siber terhadap tidur untuk semua anak.
Untuk tekanan psikologis, efek yang memburuk ini terutama terlihat pada anak laki-laki, khususnya mereka yang duduk di sekolah menengah. Menariknya, dampak negatif penggunaan telepon di malam hari sering kali lebih kuat pada anak-anak yang tidak mengalami perundungan siber, mungkin karena mereka yang pernah mengalami perundungan siber sudah melaporkan tingkat tekanan yang sangat tinggi dan kurang tidur.
Keterbatasan Studi
Studi ini mengandalkan data yang dilaporkan sendiri, yang dapat menjadi bias. Studi ini juga menggunakan ukuran item tunggal untuk beberapa faktor, seperti tidur dan perundungan siber, yang mungkin tidak menggambarkan kompleksitas penuh dari masalah ini. Sifat studi yang bersifat cross-sectional berarti studi ini tidak dapat membuktikan hubungan sebab-akibat. Selain itu, studi ini tidak menangkap informasi tentang waktu atau konten spesifik penggunaan telepon di malam hari atau apakah perundungan siber terjadi di malam hari.
Diskusi & Kesimpulan
Para peneliti menekankan pentingnya mengelola penggunaan perangkat digital di malam hari sebagai strategi untuk mengatasi kerentanan terhadap perundungan siber dan meningkatkan kesehatan tidur. Mereka menyarankan agar penelitian di masa mendatang lebih cermat mengamati waktu terjadinya perundungan siber dan membandingkan dampak perundungan siber di siang hari dengan malam hari. Studi ini juga menyoroti perlunya pendekatan yang disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin untuk mengatasi masalah ini, karena polanya bervariasi di antara kelompok yang berbeda.
Pendanaan & Pengungkapan
Studi ini tidak menerima pendanaan eksternal apa pun. Namun, perlu dicatat bahwa beberapa peneliti terkait dengan Resilient Youth Australia, organisasi yang menyediakan data untuk studi tersebut. Hubungan ini diungkapkan dalam makalah untuk memastikan transparansi tentang potensi konflik kepentingan.