

(Kredit: Media Sosial Anak © Andrii Iemelianenko | Dreamstime.com)
SAN FRANCISCO — Usia 11 dan 12 tahun mewakili transisi penting dari masa kanak-kanak ke masa remaja — masa yang secara tradisional ditandai dengan cinta pertama, tumbuhnya kemandirian, dan memperdalam persahabatan. Namun menurut penelitian baru, kelompok usia ini juga ditandai oleh sesuatu yang lebih meresahkan: kecanduan media sosial yang meluas. Penelitian terhadap lebih dari 10.000 remaja Amerika mengungkapkan bahwa sebagian besar remaja aktif di platform yang secara teknis masih terlalu muda untuk mereka gunakan.
Saat Mahkamah Agung AS bersiap untuk mendengarkan argumen yang menentang larangan Kongres terhadap TikTok, penelitian ini mengungkap apa yang telah lama dicurigai oleh banyak orang tua: hampir 64% remaja pra-remaja memiliki setidaknya satu akun media sosial, mengabaikan persyaratan usia minimum dan menaikkan gaji. kekhawatiran tentang dampak keamanan online dan kesehatan mental.
Berdasarkan sampel remaja berusia 11 hingga 15 tahun yang beragam, para peneliti menemukan bahwa TikTok paling banyak digunakan di kalangan pengguna muda, dengan 67% remaja pengguna media sosial memiliki akun di platform video pendek. YouTube dan Instagram mengikuti di belakang masing-masing sekitar 65% dan 66%.
“Para pembuat kebijakan perlu melihat TikTok sebagai isu media sosial yang sistemik dan menciptakan langkah-langkah efektif yang melindungi anak-anak secara online,” kata Dr. Jason Nagata, dokter anak di Rumah Sakit Anak UCSF Benioff dan penulis utama studi tersebut, dalam sebuah pernyataan. “TikTok adalah platform media sosial paling populer untuk anak-anak, namun anak-anak dilaporkan memiliki lebih dari tiga akun media sosial yang berbeda, termasuk Instagram dan Snapchat.”
Perbedaan gender yang menonjol muncul dalam preferensi platform. Remaja perempuan tertarik pada TikTok, Snapchat, Instagram, dan Pinterest, sementara remaja laki-laki menunjukkan ketertarikan yang lebih kuat terhadap YouTube dan Reddit. Kesenjangan digital ini memberi petunjuk bagaimana media sosial dapat membentuk berbagai aspek perkembangan remaja dan sosialisasi antar gender.
Salah satu temuan penelitian yang lebih mengkhawatirkan adalah 6,3% pengguna media sosial muda mengaku menyembunyikan akun “rahasia” dari pengawasan orang tua. Profil-profil terselubung ini, terkadang dijuluki “Finstas” (akun Instagram palsu), mewakili kehidupan ganda digital yang dapat menempatkan remaja rentan dalam risiko sekaligus menghambat kemampuan orang tua untuk melindungi anak-anak mereka secara online.
Tanda-tanda penggunaan yang bermasalah dan potensi kecanduan muncul sebagai kekhawatiran yang signifikan. Dua puluh lima persen anak-anak yang memiliki akun media sosial dilaporkan sering memikirkan aplikasi media sosial, dan 25% lainnya mengatakan mereka menggunakan aplikasi tersebut untuk melupakan masalah mereka. Selain itu, 17% pengguna mencoba mengurangi penggunaan media sosial tetapi tidak berhasil, sementara 11% melaporkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berdampak negatif pada tugas sekolah mereka.
“Penelitian kami mengungkapkan seperempat anak-anak melaporkan unsur kecanduan saat menggunakan media sosial, dan beberapa di antaranya berusia sebelas tahun,” jelas Nagata. “Penelitian menunjukkan penggunaan media sosial di bawah umur dikaitkan dengan gejala depresi, gangguan makan, ADHD, dan perilaku mengganggu yang lebih besar. Ketika berbicara tentang penggunaan dan kebijakan media sosial, kita perlu memprioritaskan kesehatan dan keselamatan anak-anak kita.”
Upaya legislatif baru-baru ini, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak di Media Sosial federal dan berbagai inisiatif tingkat negara bagian, bertujuan untuk memperkuat perlindungan terhadap penggunaan media sosial oleh remaja. Ahli Bedah Umum AS telah menyerukan sistem verifikasi usia yang lebih kuat dan label peringatan di platform media sosial, menyoroti semakin besarnya pengakuan terhadap masalah ini sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Untuk mengatasi tantangan ini, para profesional medis merekomendasikan pendekatan terstruktur untuk mengatur waktu pemakaian perangkat. American Academy of Pediatrics telah mengembangkan Family Media Plan, yang menyediakan alat bagi keluarga untuk menjadwalkan aktivitas online dan offline secara efektif.
“Setiap orang tua dan keluarga harus memiliki rencana media keluarga untuk memastikan anak-anak dan orang dewasa tetap aman saat online dan mengembangkan hubungan yang sehat dengan layar dan media sosial,” kata Nagata, yang mempraktikkan pendekatan ini dengan anak-anaknya sendiri. “Orang tua dapat menciptakan hubungan yang kuat dengan anak-anak mereka dengan memulai percakapan terbuka dan memberikan contoh perilaku yang baik.”
Ketika media sosial terus berkembang dengan kecepatan yang sangat tinggi, penelitian ini dipublikasikan di Pediatri Akademikmemberikan gambaran penting tentang bagaimana generasi muda menavigasi lanskap digital. Waktunya terbukti sangat relevan ketika Mahkamah Agung bersiap mendengarkan argumen mengenai larangan Kongres terhadap TikTok, yang akan mulai berlaku pada 19 Januari. Meskipun kasus ini terutama berpusat pada masalah keamanan nasional, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan anak-anak harus menjadi pertimbangan yang sama pentingnya dalam peraturan platform.
Ringkasan Makalah
Metodologi
Peneliti menganalisis data dari Studi Perkembangan Kognitif Otak Remaja (ABCD) yang meneliti respon dari 10.092 remaja berusia 11-15 tahun. Peserta menyelesaikan kuesioner tentang penggunaan media sosial mereka, termasuk platform spesifik yang digunakan, waktu yang dihabiskan, dan pola penggunaan yang bermasalah. Studi ini menggunakan teknik analisis statistik yang tepat dan menimbang data untuk memastikan keterwakilan di seluruh kelompok demografi.
Hasil
Studi ini menemukan bahwa 69,5% dari seluruh peserta memiliki setidaknya satu akun media sosial, dan 63,8% pengguna di bawah 13 tahun memiliki akun meskipun ada batasan usia. TikTok adalah platform paling populer (67,1%), diikuti oleh Instagram (66,0%) dan YouTube (64,7%). Perbedaan gender menunjukkan perempuan lebih menyukai platform visual dan sosial, sedangkan laki-laki lebih menyukai situs berbasis video dan diskusi. Seperempat pengguna menunjukkan tanda-tanda penggunaan yang bermasalah atau perilaku seperti kecanduan, dan sekitar 6,3% memiliki akun rahasia yang tidak diketahui orang tua.
Keterbatasan
Data bergantung pada penggunaan yang dilaporkan sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh bias ingatan atau keinginan sosial. Penelitian ini hanya berfokus pada remaja awal, dan membatasi generalisasi pada remaja yang lebih tua. Selain itu, pengumpulan data terjadi selama pandemi COVID-19, sehingga berpotensi mengganggu pola penggunaan karena meningkatnya kebutuhan isolasi dan konektivitas online.
Diskusi dan Kesimpulan
Selain mengidentifikasi meluasnya penggunaan media sosial di bawah umur, penelitian ini juga menggarisbawahi pola perilaku adiktif dan risiko kesehatan mental di kalangan pengguna muda. Temuan ini menyoroti kesenjangan yang signifikan antara pembatasan usia yang dimaksudkan dan penggunaan media sosial yang sebenarnya di kalangan remaja muda, sehingga menimbulkan pertanyaan penting tentang efektivitas langkah-langkah keselamatan saat ini dan perlunya peningkatan kontrol orang tua dan sistem verifikasi usia.
Pendanaan dan Pengungkapan
Penelitian ini didukung oleh National Institutes of Health (K08HL159350 dan R01MH135492) dan Doris Duke Charitable Foundation (2022056). Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi temuan penelitian ini.
Informasi Publikasi
Studi ini dipublikasikan di Pediatri Akademik (2025) dengan judul “Prevalence and Patterns of Social Media Use in Early Adolescents” oleh Jason M. Nagata, MD, MSc, dan rekan dari University of California, San Francisco, dan institusi lainnya. Makalah ini dapat diakses menggunakan DOI: https://doi.org/10.1016/j.acap.2025.102784.